*Abu Ayaz*
Bismillah,
Ketika Yazid Ar-Raqasy rahimahullah mendekati ajalnya, tampak tangisan dari beliau.
Saat ditanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Beliau menjawab :
“Demi Allah, saya menangisi segala hal yang telah saya telantarkan berupa shalat lail dan puasa pada siang hari.”
Beliau juga berkata :
“… Wahai saudara-saudaraku, janganlah kalian tertipu dengan waktu muda kalian. Sungguh, bila sesuatu yang menimpaku, berupa kedahsyatan perkara (kematian) dan beratnya kepedihan maut, telah menimpa kalian, pastilah (kalian) hanya (akan berpikir) untuk keselamatan dan keselamatan, untuk kehati-hatian dan kehati-hatian. Bersegeralah, wahai saudara-saudaraku –semoga Allah merahmati kalian-.”
[Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh-nya 65/92.]
Monday, August 20, 2012
Jangan Menyia-nyiakan Waktu
*Abu Ayaz*
Ibnul jauzy berkata:
“Saya melihat banyak sekali manusia yang mempergunakan waktu untuk hal-hal yang sangat tidak berguna. Malam yang begitu panjang mereka gunakan untuk membicarakan hal-hal yang sangat tidak berguna atau membaca tulisan-tulisan yang tidak ada nilainya. Siang nan panjang justru digunakan untuk tidur. Kalaupun beraktifitas, di siang hari mereka hanya berjalan-jalan atau hanya berkeliling pasar.
Saya memandang mereka seperti orang-orang yang sedang berbincang-bincang di atas perahu, sedangkan perahu yang mereka tumpangi menyeret mereka entah ke mana, namun hal itu tidak disadari. Jarang sekali orang yang saya lihat paham akan makna kehidupan ini dan mempersiapkan bekal untuk menjalani perjalanan abadi. Keadaan manusia sungguh berbeda-beda. Perbedaan terjadi akibat perbedaan taraf ilmu dan wawasan yang mereka miliki.
Di antara manusia, orang-orang yang memiliki kesadaran akan makna hidup selalu mencari tahu dan memperbanyak bekal untuk perjalanannya yang abadi, hingga mereka memperoleh keuntungan yang berlipat ganda. Adapun yang lalai, mereka membawa bekal sekedarnya, atau mungkin keluar dari negerinya tanpa satu tempat bekal apapun. Alangkah banyaknya orang-orang yang berjalan dan telah melalui jalan yang panjang, namun tetap tidak beroleh bekal apa-apa.
Oleh sebab itu, pergunakanlah setiap detik umur anda dan bersegeralah sebelum kesempatan itu lenyap. Carilah ilmu, carilah hikmah, berlombalah dengan waktu, lawanlah nafsu dan carilah bekal sebanyak-banyaknya. Tatkala semuanya telah terlambat, tak akan berguna lagi penyesalan bagi anda.”
[Terjemah “Shoidul Khotir” karya Ibnul Jauzy].
Semoga bermanfaat
Ibnul jauzy berkata:
“Saya melihat banyak sekali manusia yang mempergunakan waktu untuk hal-hal yang sangat tidak berguna. Malam yang begitu panjang mereka gunakan untuk membicarakan hal-hal yang sangat tidak berguna atau membaca tulisan-tulisan yang tidak ada nilainya. Siang nan panjang justru digunakan untuk tidur. Kalaupun beraktifitas, di siang hari mereka hanya berjalan-jalan atau hanya berkeliling pasar.
Saya memandang mereka seperti orang-orang yang sedang berbincang-bincang di atas perahu, sedangkan perahu yang mereka tumpangi menyeret mereka entah ke mana, namun hal itu tidak disadari. Jarang sekali orang yang saya lihat paham akan makna kehidupan ini dan mempersiapkan bekal untuk menjalani perjalanan abadi. Keadaan manusia sungguh berbeda-beda. Perbedaan terjadi akibat perbedaan taraf ilmu dan wawasan yang mereka miliki.
Di antara manusia, orang-orang yang memiliki kesadaran akan makna hidup selalu mencari tahu dan memperbanyak bekal untuk perjalanannya yang abadi, hingga mereka memperoleh keuntungan yang berlipat ganda. Adapun yang lalai, mereka membawa bekal sekedarnya, atau mungkin keluar dari negerinya tanpa satu tempat bekal apapun. Alangkah banyaknya orang-orang yang berjalan dan telah melalui jalan yang panjang, namun tetap tidak beroleh bekal apa-apa.
Oleh sebab itu, pergunakanlah setiap detik umur anda dan bersegeralah sebelum kesempatan itu lenyap. Carilah ilmu, carilah hikmah, berlombalah dengan waktu, lawanlah nafsu dan carilah bekal sebanyak-banyaknya. Tatkala semuanya telah terlambat, tak akan berguna lagi penyesalan bagi anda.”
[Terjemah “Shoidul Khotir” karya Ibnul Jauzy].
Semoga bermanfaat
Mengetahui Kadar Agama Seseorang
*Abu Ayaz*
Syaikh Abdurrahman As Sa'di rahimahullah berkata,
"Termasuk kesalahan yang berat adalah langsung menerima perkataan sebagian orang yang memburuk burukkan orang lain, lalu membangun cinta dan benci serta pujian dan celaan di atasnya.
Berapa banyak kesalahan yang terjadi yang berakibat kepada penyesalan.
Berapa banyak berita yang disebarkan oleh manusia ternyata tidak demikian kenyataannya.
Kewajiban orang yang berakal adalah memeriksa, berhati-hati dan tidak tergesa-gesa.
Dengan inilah dapat diketahui kadar agama, kedewasaan dan akal seseorang."
[Ar Riyadl An Nadlirah hal 209 dinukil dari kutaib Husnuzan binnas karya Abdul Malik Ramadlani].
[Ust. Badrusalam, BB group Al Ilmu]
Semoga bermanfaat.
Syaikh Abdurrahman As Sa'di rahimahullah berkata,
"Termasuk kesalahan yang berat adalah langsung menerima perkataan sebagian orang yang memburuk burukkan orang lain, lalu membangun cinta dan benci serta pujian dan celaan di atasnya.
Berapa banyak kesalahan yang terjadi yang berakibat kepada penyesalan.
Berapa banyak berita yang disebarkan oleh manusia ternyata tidak demikian kenyataannya.
Kewajiban orang yang berakal adalah memeriksa, berhati-hati dan tidak tergesa-gesa.
Dengan inilah dapat diketahui kadar agama, kedewasaan dan akal seseorang."
[Ar Riyadl An Nadlirah hal 209 dinukil dari kutaib Husnuzan binnas karya Abdul Malik Ramadlani].
[Ust. Badrusalam, BB group Al Ilmu]
Semoga bermanfaat.
Kaidah Berdzikir
*Abu Ayaz*
1. Dzikir & do'a adalah ibadah yg bersifat tauqifiyah, yg disyaratkan padanya ikhlas & sesuai dg contoh dari Rasulullah صلى الله عليه و سلم.
2. Dibedakan antara dzikir yg mutlak dg dzikir yg muqayyad.
Dzikir/do'a yg muqayyad (yg telah ditentukan) waktunya, tempat, tata cara, jumlah, sebab & jenisnya, tak boleh diubah-ubah.
Dan dzikir/do'a yg mutlak (tak ditentukan) dalam enam perkara di atas, tak boleh menentukan sendiri tata-caranya, waktunya, dst kecuali dg dalil.
3. Do'a yg tak berasal dari Nabi diperbolehkan dengan syarat:
A. Memlih lafadz yg paling bagus.
B. Tak mengandung sesuatu yg terlarang.
C. Hanya pada dzikir/do'a mutlak saja.
D. Tak boleh dijadikan sebagai sunnah atau rutinitas.
4. Setiap dzikir/do'a yg mempunyai lebih dari satu macam lafadz seperti do'a istiftah, bacaan ruku' & sujud, shalawat, maka tak boleh dibaca sekaligus, namun dibaca terkadang dg ini & terkadang dg itu.
5. Setiap dzikir/do'a yg banyak macamnya dari suatu waktu, maka boleh dibaca semuanya seperti do'a pagi & petang.
6. Pada asalnya dzikir/do'a adalah dibaca dg lirih, kecuali yg ditunjukkan dalil boleh mengeraskannya atau disyari'atkan dg keras, seperti adzan, takbir hari raya dsb.
7. Setiap perbuatan yg haram atau makruh tak boleh dimulai dg dzikir/do'a.
[diringkas dari kitab Tashih ad- Du'a karya syaikh Bakr Abu Zaid]
1. Dzikir & do'a adalah ibadah yg bersifat tauqifiyah, yg disyaratkan padanya ikhlas & sesuai dg contoh dari Rasulullah صلى الله عليه و سلم.
2. Dibedakan antara dzikir yg mutlak dg dzikir yg muqayyad.
Dzikir/do'a yg muqayyad (yg telah ditentukan) waktunya, tempat, tata cara, jumlah, sebab & jenisnya, tak boleh diubah-ubah.
Dan dzikir/do'a yg mutlak (tak ditentukan) dalam enam perkara di atas, tak boleh menentukan sendiri tata-caranya, waktunya, dst kecuali dg dalil.
3. Do'a yg tak berasal dari Nabi diperbolehkan dengan syarat:
A. Memlih lafadz yg paling bagus.
B. Tak mengandung sesuatu yg terlarang.
C. Hanya pada dzikir/do'a mutlak saja.
D. Tak boleh dijadikan sebagai sunnah atau rutinitas.
4. Setiap dzikir/do'a yg mempunyai lebih dari satu macam lafadz seperti do'a istiftah, bacaan ruku' & sujud, shalawat, maka tak boleh dibaca sekaligus, namun dibaca terkadang dg ini & terkadang dg itu.
5. Setiap dzikir/do'a yg banyak macamnya dari suatu waktu, maka boleh dibaca semuanya seperti do'a pagi & petang.
6. Pada asalnya dzikir/do'a adalah dibaca dg lirih, kecuali yg ditunjukkan dalil boleh mengeraskannya atau disyari'atkan dg keras, seperti adzan, takbir hari raya dsb.
7. Setiap perbuatan yg haram atau makruh tak boleh dimulai dg dzikir/do'a.
[diringkas dari kitab Tashih ad- Du'a karya syaikh Bakr Abu Zaid]
Manusia Yg Paling Berat Ujiannya
*Abu Ayaz*
Dari Mush’ab bin Sa’id -seorang tabi’in- dari ayahnya, ia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً
“Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
« الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ »
“Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.”
HR. Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4024, Ad Darimi no. 2783, Ahmad (1/185). Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 3402 mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Semoga bermanfaat.
Dari Mush’ab bin Sa’id -seorang tabi’in- dari ayahnya, ia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً
“Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
« الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ »
“Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.”
HR. Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4024, Ad Darimi no. 2783, Ahmad (1/185). Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 3402 mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Semoga bermanfaat.
Menyoal Panggilan Bro dan Sis
*Abu Ayaz*
“Gimana kabarnya ni bro?”
“Wah sist ini, makin eksis aja ni!”
Istilah “bro” dan “sist” memang sedang ngetren sekarang ini. Semua juga sudah tahu ini adalah singkatan dari “brother” dan “sister”. Sesama teman memanggil dengan istilah ini, bahkan terhadap orang yang tidak dikenal, sehingga ini sudah menjadi semacam kata sapaan. Akan tetapi perlu diperhatikan, sebaiknya kita berhati-hati, jangan memanggil dengan sapaan ini terhadap orang kafir karena kita memang tidak bersaudara sama sekali dengan mereka. Ini juga menunjukkan al-wala [loyalitas] dan Al-bara [berlepas diri] kita sebagai seorang muslim.
Hal ini jelas karena yang berhak dipanggil saudara adalah sesama muslim.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
”Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara” [QS. Al-Hujurat : 10]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
المسلم أخو المسلم
”Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya [HR. Muslim].
Dan kita diperintahkan berlepas diri [Al-Bara] terhadap orang kafir.
Untuk lebih lengkapnya pembahasan masalah ini, silahkan lihat link ini :
http://abxayaz.blogspot.com/2012/04/menyoal-pangilan-bro-dan-sist.html?m=1
Semoga bermanfaat.
“Gimana kabarnya ni bro?”
“Wah sist ini, makin eksis aja ni!”
Istilah “bro” dan “sist” memang sedang ngetren sekarang ini. Semua juga sudah tahu ini adalah singkatan dari “brother” dan “sister”. Sesama teman memanggil dengan istilah ini, bahkan terhadap orang yang tidak dikenal, sehingga ini sudah menjadi semacam kata sapaan. Akan tetapi perlu diperhatikan, sebaiknya kita berhati-hati, jangan memanggil dengan sapaan ini terhadap orang kafir karena kita memang tidak bersaudara sama sekali dengan mereka. Ini juga menunjukkan al-wala [loyalitas] dan Al-bara [berlepas diri] kita sebagai seorang muslim.
Hal ini jelas karena yang berhak dipanggil saudara adalah sesama muslim.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
”Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara” [QS. Al-Hujurat : 10]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
المسلم أخو المسلم
”Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya [HR. Muslim].
Dan kita diperintahkan berlepas diri [Al-Bara] terhadap orang kafir.
Untuk lebih lengkapnya pembahasan masalah ini, silahkan lihat link ini :
http://abxayaz.blogspot.com/2012/04/menyoal-pangilan-bro-dan-sist.html?m=1
Semoga bermanfaat.
Bila HP berbunyi ketika shalat
*Abu Ayaz*
#Bila HandPhone berbunyi Ketika Shalat#
Apa yang semestinya dilakukan bila handphone kita berbunyi karena ada yang menelpon ketika kita sedang shalat? Menjawab telepon? Mengambilnya dari kantong lalu mematikannya? Bagaimana bila telepon rumah? Membatalkan shalat? Atau dibiarkan saja berbunyi sampai mati sendiri?
Silahkan baca beberapa penjelasan para ulama berikut disini :
http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/bila-handphone-berbunyi-ketika-shalat.html
Semoga bermanfaat.
#Bila HandPhone berbunyi Ketika Shalat#
Apa yang semestinya dilakukan bila handphone kita berbunyi karena ada yang menelpon ketika kita sedang shalat? Menjawab telepon? Mengambilnya dari kantong lalu mematikannya? Bagaimana bila telepon rumah? Membatalkan shalat? Atau dibiarkan saja berbunyi sampai mati sendiri?
Silahkan baca beberapa penjelasan para ulama berikut disini :
http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/bila-handphone-berbunyi-ketika-shalat.html
Semoga bermanfaat.
Menghidupkan Sunnah
*Abu Ayaz*
Bismillah,
Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari berkata:
“Orang muslim yang paling utama adalah orang yang menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah ditinggalkan (manusia), maka bersabarlah wahai para pencinta sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena sesungguhnya kalian adalah orang yang paling sedikit jumlahnya (di kalangan manusia)”
[Dinukil oleh imam al-Khatib al-Baghdadi dalam Kitab “al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawi” (1/168) ]
Syaikh Muhammad bih Shaleh al-’Utsaimin rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika semakin dilupakan, maka (keutamaan) mengamalkannya pun semakin kuat (besar), karena (orang yang mengamalkannya) akan mendapatkan keutamaan mengamalkan (sunnah itu sendiri) dan (keutamaan) menyebarkan (menghidupkan) sunnah di kalangan manusia”
[Kitab “Manaasikul hajji wal ‘umrah” (hal. 92)]
Semoga bermanfaat.
Bismillah,
Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari berkata:
“Orang muslim yang paling utama adalah orang yang menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah ditinggalkan (manusia), maka bersabarlah wahai para pencinta sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena sesungguhnya kalian adalah orang yang paling sedikit jumlahnya (di kalangan manusia)”
[Dinukil oleh imam al-Khatib al-Baghdadi dalam Kitab “al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawi” (1/168) ]
Syaikh Muhammad bih Shaleh al-’Utsaimin rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika semakin dilupakan, maka (keutamaan) mengamalkannya pun semakin kuat (besar), karena (orang yang mengamalkannya) akan mendapatkan keutamaan mengamalkan (sunnah itu sendiri) dan (keutamaan) menyebarkan (menghidupkan) sunnah di kalangan manusia”
[Kitab “Manaasikul hajji wal ‘umrah” (hal. 92)]
Semoga bermanfaat.
Pengantin Sepanjang Masa
*Abu Ayaz*
Edisi "Aku Rindu Pada mu"
Mina sedang duduk santai di ruang perpustakaan rumahnya sambil membaca sebuah buku yang menarik. Tiba - tiba dia mendengar suara pintu yang diketuk dengan keras dari luar.
Dengan diliputi perasaan was - was dan khawatir, ia segera beranjak dari tempat duduknya menuju pintu dan berkata : "Siapa ya yang mengetuk pintu?" Tanya Mina menyelidiki.
Orang itu pun menjawab : "Buka kan pintu, AKU SUAMI MU..!"
Setelah mengetahui bahwa yang mengetuk pintu adalah suami nya, ia pun membuka pintu. Ia memarahi suaminya karena telah mengetuk pintu dengan sangat keras. Sehingga membuatnya khawatir.
Sambil tersenyum dan tertawa kecil, Anwar (suami Mina) berkata : "Bagaimana jika aku katakan bahwa engkaulah penyebab nya? Aku mengetuk pintu dengan keras karena sudah sangat rindu sekali pada mu, dan aku khawatir jika terjadi sesuatu pada mu."
Mina menjawab : "Jika itu penyebabnya, aku tidak akan marah. walaupun engkau dobrak pintu itu sekalipun."
[Menjadi Pengantin Sepanjang Masa hal 410, karya Syaikh Fuad Shalih. judul aslinya Liman Yuridu Az-Zawaj wa Tazawaj]
Edisi "Aku Rindu Pada mu"
Mina sedang duduk santai di ruang perpustakaan rumahnya sambil membaca sebuah buku yang menarik. Tiba - tiba dia mendengar suara pintu yang diketuk dengan keras dari luar.
Dengan diliputi perasaan was - was dan khawatir, ia segera beranjak dari tempat duduknya menuju pintu dan berkata : "Siapa ya yang mengetuk pintu?" Tanya Mina menyelidiki.
Orang itu pun menjawab : "Buka kan pintu, AKU SUAMI MU..!"
Setelah mengetahui bahwa yang mengetuk pintu adalah suami nya, ia pun membuka pintu. Ia memarahi suaminya karena telah mengetuk pintu dengan sangat keras. Sehingga membuatnya khawatir.
Sambil tersenyum dan tertawa kecil, Anwar (suami Mina) berkata : "Bagaimana jika aku katakan bahwa engkaulah penyebab nya? Aku mengetuk pintu dengan keras karena sudah sangat rindu sekali pada mu, dan aku khawatir jika terjadi sesuatu pada mu."
Mina menjawab : "Jika itu penyebabnya, aku tidak akan marah. walaupun engkau dobrak pintu itu sekalipun."
[Menjadi Pengantin Sepanjang Masa hal 410, karya Syaikh Fuad Shalih. judul aslinya Liman Yuridu Az-Zawaj wa Tazawaj]
Jika Hendak Tidur
*Abu Ayaz*
Jika hendak ke peraduan
Simak hadits berikut..
Dari Barra’ bin ‘Azib ra berkata, Nabi shalallahu alaihi wasalam bersabda:
“Apabila engkau hendak menuju pembaringanmu, wudhu’lah seperti wudhu’mu untuk shalat. Kemudian berbaringlah miring di atas sisi tubuhmu sbelah kanan, kemudian ucapkanlah :
اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ لَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَا مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ. اللَّهُمَّ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ.
‘Ya Allah, kupasrahkan wajahku kepada-Mu, kuserahkan urusanku kepada-Mu, kusandarkan punggungku kepada-Mu disertai takut dan berharap kepada-Mu. Tidak ada tempat berlindung dan menyelamatkan diri dari (siksa-Mu) melainkan kepada-Mu. Ya Allah, aku beriman kepada kitab-Mu yang Engkau turunkan dan nabi-Mu yang Engkau utus.’
Bila engkau mati malam itu, maka engkau di atas fithrah, dan jadikan itu sebagai akhir apa yang engkau ucapkan.”
Shahih, diriwayatkan Al-Bukhari (247).
Selain amalan diatas kita disunahkan untuk membaca surat kursi dan juga tasbih33x tahmid33x dan takbir34x
Semoga esok hari kita masih diberi umur untuk beramal sholeh yg akan kita gunakan untuk kehidupan akhirat..
Dan bagun bagi dalam kondisi penuh kesehatan.
آميـن اللّـهُمَّ آميـــــن
Selamat istirahat.
Jika hendak ke peraduan
Simak hadits berikut..
Dari Barra’ bin ‘Azib ra berkata, Nabi shalallahu alaihi wasalam bersabda:
“Apabila engkau hendak menuju pembaringanmu, wudhu’lah seperti wudhu’mu untuk shalat. Kemudian berbaringlah miring di atas sisi tubuhmu sbelah kanan, kemudian ucapkanlah :
اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ لَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَا مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ. اللَّهُمَّ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ.
‘Ya Allah, kupasrahkan wajahku kepada-Mu, kuserahkan urusanku kepada-Mu, kusandarkan punggungku kepada-Mu disertai takut dan berharap kepada-Mu. Tidak ada tempat berlindung dan menyelamatkan diri dari (siksa-Mu) melainkan kepada-Mu. Ya Allah, aku beriman kepada kitab-Mu yang Engkau turunkan dan nabi-Mu yang Engkau utus.’
Bila engkau mati malam itu, maka engkau di atas fithrah, dan jadikan itu sebagai akhir apa yang engkau ucapkan.”
Shahih, diriwayatkan Al-Bukhari (247).
Selain amalan diatas kita disunahkan untuk membaca surat kursi dan juga tasbih33x tahmid33x dan takbir34x
Semoga esok hari kita masih diberi umur untuk beramal sholeh yg akan kita gunakan untuk kehidupan akhirat..
Dan bagun bagi dalam kondisi penuh kesehatan.
آميـن اللّـهُمَّ آميـــــن
Selamat istirahat.
2 Jurus Ampuh Setan Menyesatkan Manusia
*Abu Ayaz*
Bismillah,
Diriwayatkan dari Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu anhu, bhw Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ مِمَّا أَخْشَى عَلَيْكُمْ شَهَوَاتِ الْغَيِّ فِي بُطُونِكُمْ وَ فُرُوجِكُمْ وَمُضِلَّاتِ الْفِتَنِ
"Sesungguhnya di antara perkara yg aku takutkan akan menimpa kalian adalah syahwat (keinginan dan kecenderungan jiwa) yg tidak lurus untuk mengikuti apa yg diinginkan oleh perut kalian dan kemaluan kalian, serta fitnah2 yg menyesatkan.”
TAKHRIJ HADITS:
Hadits ini diriwayatkan oleh imam Ahmad di dalam Al-Musnad IV/420 no.19787.
DERAJAT HADITS:
Hadits ini derajatnya SHAHIH, sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Al-Albani di dlm Shahih At-Targhib wa At-Tarhib I/12 no.52, dan II/246 no.2143)
BEBERAPA PELAJARAN DAN FAEDAH ILMIYAH YG TERKANDUNG DI DALAM HADITS:
Pelajaran Pertama :
Di dlm hadits ini Nabi menyebutkan dua jenis fitnah (godaan), yaitu fitnah syahwat dan fitnah syubhat. Kedua fitnah ini sesungguhnya juga telah menimpa orang2 zaman dahulu dan telah membinasakan mereka. (Silakan baca firman Allah di dalam surat At-Taubah, ayat 69)
Oleh karena itulah sebagian ulama dari generasi As-Salaf Ash-Shalih dahulu mengatakan: “Waspadalah kamu dari dua jenis manusia: Pengikut hawa-nafsu yg telah disesatkan oleh hawa-nafsunya (inilah fitnah syubhat, pen), dan pemburu dunia yg telah dibutakan oleh dunianya (inilah fitnah syahwat, pen)”.
Mrk juga mengatakan: “Waspadailah kesesatan seorang ulama yg durhaka (karena terkena fitnah syahwat, pent), dan kesesatan ahli ibadah yg bodoh (karena terkena fitnah syubhat). Hal ini dikarenakan kesesatan keduanya itu merupakan (penyebab) kesesatan tiap2 org yg tersesat.”
Pelajaran Kedua :
Orang yg memiliki ilmu agama yg berbuat maksiat dan durhaka kpd Allah itu menyerupai orang2 Yahudi yg dimurkai, yaitu orang2 yg mengetahui kebenaran, tetapi tidak mengikutinya atau tdk mengamalkannya.
Semoga bermanfaat
Bismillah,
Diriwayatkan dari Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu anhu, bhw Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ مِمَّا أَخْشَى عَلَيْكُمْ شَهَوَاتِ الْغَيِّ فِي بُطُونِكُمْ وَ فُرُوجِكُمْ وَمُضِلَّاتِ الْفِتَنِ
"Sesungguhnya di antara perkara yg aku takutkan akan menimpa kalian adalah syahwat (keinginan dan kecenderungan jiwa) yg tidak lurus untuk mengikuti apa yg diinginkan oleh perut kalian dan kemaluan kalian, serta fitnah2 yg menyesatkan.”
TAKHRIJ HADITS:
Hadits ini diriwayatkan oleh imam Ahmad di dalam Al-Musnad IV/420 no.19787.
DERAJAT HADITS:
Hadits ini derajatnya SHAHIH, sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Al-Albani di dlm Shahih At-Targhib wa At-Tarhib I/12 no.52, dan II/246 no.2143)
BEBERAPA PELAJARAN DAN FAEDAH ILMIYAH YG TERKANDUNG DI DALAM HADITS:
Pelajaran Pertama :
Di dlm hadits ini Nabi menyebutkan dua jenis fitnah (godaan), yaitu fitnah syahwat dan fitnah syubhat. Kedua fitnah ini sesungguhnya juga telah menimpa orang2 zaman dahulu dan telah membinasakan mereka. (Silakan baca firman Allah di dalam surat At-Taubah, ayat 69)
Oleh karena itulah sebagian ulama dari generasi As-Salaf Ash-Shalih dahulu mengatakan: “Waspadalah kamu dari dua jenis manusia: Pengikut hawa-nafsu yg telah disesatkan oleh hawa-nafsunya (inilah fitnah syubhat, pen), dan pemburu dunia yg telah dibutakan oleh dunianya (inilah fitnah syahwat, pen)”.
Mrk juga mengatakan: “Waspadailah kesesatan seorang ulama yg durhaka (karena terkena fitnah syahwat, pent), dan kesesatan ahli ibadah yg bodoh (karena terkena fitnah syubhat). Hal ini dikarenakan kesesatan keduanya itu merupakan (penyebab) kesesatan tiap2 org yg tersesat.”
Pelajaran Kedua :
Orang yg memiliki ilmu agama yg berbuat maksiat dan durhaka kpd Allah itu menyerupai orang2 Yahudi yg dimurkai, yaitu orang2 yg mengetahui kebenaran, tetapi tidak mengikutinya atau tdk mengamalkannya.
Semoga bermanfaat
Jangan Merasa Lebih Mulia
*Abu Ayaz*
'Abdullah al-Muzani rahimahullah berkata:
إن عرض لك إبليس بأن لك فضلاً على أحد من أهل الإسلام فانظر، فإن كان أكبر منك فقل قد سبقني هذا بالإيمان والعمل الصالح فهو خير مني، وإن كان أصغر منك فقل قد سبقت هذا بالمعاصي والذنوب واستوجبت العقوبة فهو خير مني، فإنك لا ترى أحداً من أهل الإسلام إلا أكبر منك أو أصغر منك.
"Jika Iblis memberikan was-was kepadamu bahwa engkau lebih mulia dari Muslim lainnya, maka perhatikanlah. Jika ada orang lain yg lebih tua darimu, maka seharusnya engkau katakan: 'Orang tersebut telah lebih dahulu beriman & beramal shaleh dariku, maka ia lebih baik dariku'. Jika ada orang lainnya yg lebih muda darimu, maka seharusnya engkau katakan: 'Aku telah lebih dulu bermaksiat & berlumuran dosa serta lebih pantas mendapatkan siksa dibanding dirinya, maka ia sebenarnya lebih baik dariku'. Demikianlah sikap yg seharusnya engkau perhatikan ketika engkau melihat yg lebih tua atau yg lebih muda darimu" [Hilyatul Awliya' 2/226, Abu Nu'aim al- Ashbahani, asy-Syamilah].
Senada dengan nasehat tersebut di atas, dari Kinanah ibn Jibillah as-Sullami, diriwayatkan bahwa ia berkata: "Apabila engkau melihat orang yg lebih tua umurnya darimu, katakanlah: 'Orang ini sudah mendahuluiku dalam beriman & beramal shaleh, ia tentu lebih baik dariku'. Apabila engkau melihat orang yg lebih muda umurnya darimu, katakanlah: 'Aku telah mendahuluinya berbuat dosa & kemaksiatan, ia tentu lebih baik dariku'. Dan apabila engkau melihat sahabat-sahabatmu menghormati & memuliakanmu, maka katakanlah: 'Ini adalah keutamaan yg akan diperhitungkan nanti'. Kalau engkau melihat mereka kurang menghormatimu, maka katakanlah: 'Ini adalah akibat dosa yg kuperbuat sendiri'."
[Shifatush Shafwah III:248. Lihat "Sudah Salafikah Akhlak Anda?" Pustaka at-Tibyan].
Semoga bermanfaat.
'Abdullah al-Muzani rahimahullah berkata:
إن عرض لك إبليس بأن لك فضلاً على أحد من أهل الإسلام فانظر، فإن كان أكبر منك فقل قد سبقني هذا بالإيمان والعمل الصالح فهو خير مني، وإن كان أصغر منك فقل قد سبقت هذا بالمعاصي والذنوب واستوجبت العقوبة فهو خير مني، فإنك لا ترى أحداً من أهل الإسلام إلا أكبر منك أو أصغر منك.
"Jika Iblis memberikan was-was kepadamu bahwa engkau lebih mulia dari Muslim lainnya, maka perhatikanlah. Jika ada orang lain yg lebih tua darimu, maka seharusnya engkau katakan: 'Orang tersebut telah lebih dahulu beriman & beramal shaleh dariku, maka ia lebih baik dariku'. Jika ada orang lainnya yg lebih muda darimu, maka seharusnya engkau katakan: 'Aku telah lebih dulu bermaksiat & berlumuran dosa serta lebih pantas mendapatkan siksa dibanding dirinya, maka ia sebenarnya lebih baik dariku'. Demikianlah sikap yg seharusnya engkau perhatikan ketika engkau melihat yg lebih tua atau yg lebih muda darimu" [Hilyatul Awliya' 2/226, Abu Nu'aim al- Ashbahani, asy-Syamilah].
Senada dengan nasehat tersebut di atas, dari Kinanah ibn Jibillah as-Sullami, diriwayatkan bahwa ia berkata: "Apabila engkau melihat orang yg lebih tua umurnya darimu, katakanlah: 'Orang ini sudah mendahuluiku dalam beriman & beramal shaleh, ia tentu lebih baik dariku'. Apabila engkau melihat orang yg lebih muda umurnya darimu, katakanlah: 'Aku telah mendahuluinya berbuat dosa & kemaksiatan, ia tentu lebih baik dariku'. Dan apabila engkau melihat sahabat-sahabatmu menghormati & memuliakanmu, maka katakanlah: 'Ini adalah keutamaan yg akan diperhitungkan nanti'. Kalau engkau melihat mereka kurang menghormatimu, maka katakanlah: 'Ini adalah akibat dosa yg kuperbuat sendiri'."
[Shifatush Shafwah III:248. Lihat "Sudah Salafikah Akhlak Anda?" Pustaka at-Tibyan].
Semoga bermanfaat.
Segera Beramal Sebelum Datang Kematian
*Abu Ayaz*
Bismillah,
Seseorang hendaklah memanfaatkan hidupnya dgn sebaik2nya, mengisinya dgn amal shalih sebelum datang kematian. Imam Bukhari meriwayatkan:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَنْكِبِي فَقَالَ كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُولُ إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الْمَسَاءَ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ (خ 5937)
"Dari Abdullah bin Umar, dia berkata: Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam memegang pundakku, lalu bersabda,”Jadilah engkau di dunia ini seolah2 seorang yg asing, atau seorang musafir.” Dan Ibnu Umar mengatakan: “Jika engkau masuk waktu Subuh, maka janganlah engkau menanti sore. Jika engkau masuk waktu sore, maka janganlah engkau menanti Subuh. Ambillah dari kesehatanmu untuk sakitmu. Dan ambillah dari hidupmu untuk matimu.” [HR Bukhari, no. 5.937]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَكْبَرُ ابْنُ آدَمَ وَيَكْبَرُ مَعَهُ اثْنَانِ حُبُّ الْمَالِ وَطُولُ الْعُمُرِ (خ 5942)
"Anak Adam semakin tua, dan dua perkara semakin besar juga bersamanya: cinta harta dan panjang umur". [HR Bukhari, no. 5.942, dari Anas bin Malik].
Sesungguhnya, masa 60 tahun bagi seseorang sudah merupakan waktu yg panjang hidup di dunia ini, cukup bagi seseorang merenungkan tujuan hidup, sehingga tidak ada udzur bagi orang yg telah mencapai umur tersebut.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَعْذَرَ اللَّهُ إِلَى امْرِئٍ أَخَّرَ أَجَلَهُ حَتَّى بَلَّغَهُ سِتِّينَ سَنَةً (خ 5940)
"Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda: “Allah meniadakan alasan seseorang yang Dia telah menunda ajalnya sehingga mencapai 60 tahun. [HR Bukhari, no. 5.940]
Semoga bermanfaat.
Bismillah,
Seseorang hendaklah memanfaatkan hidupnya dgn sebaik2nya, mengisinya dgn amal shalih sebelum datang kematian. Imam Bukhari meriwayatkan:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَنْكِبِي فَقَالَ كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُولُ إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الْمَسَاءَ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ (خ 5937)
"Dari Abdullah bin Umar, dia berkata: Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam memegang pundakku, lalu bersabda,”Jadilah engkau di dunia ini seolah2 seorang yg asing, atau seorang musafir.” Dan Ibnu Umar mengatakan: “Jika engkau masuk waktu Subuh, maka janganlah engkau menanti sore. Jika engkau masuk waktu sore, maka janganlah engkau menanti Subuh. Ambillah dari kesehatanmu untuk sakitmu. Dan ambillah dari hidupmu untuk matimu.” [HR Bukhari, no. 5.937]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَكْبَرُ ابْنُ آدَمَ وَيَكْبَرُ مَعَهُ اثْنَانِ حُبُّ الْمَالِ وَطُولُ الْعُمُرِ (خ 5942)
"Anak Adam semakin tua, dan dua perkara semakin besar juga bersamanya: cinta harta dan panjang umur". [HR Bukhari, no. 5.942, dari Anas bin Malik].
Sesungguhnya, masa 60 tahun bagi seseorang sudah merupakan waktu yg panjang hidup di dunia ini, cukup bagi seseorang merenungkan tujuan hidup, sehingga tidak ada udzur bagi orang yg telah mencapai umur tersebut.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَعْذَرَ اللَّهُ إِلَى امْرِئٍ أَخَّرَ أَجَلَهُ حَتَّى بَلَّغَهُ سِتِّينَ سَنَةً (خ 5940)
"Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda: “Allah meniadakan alasan seseorang yang Dia telah menunda ajalnya sehingga mencapai 60 tahun. [HR Bukhari, no. 5.940]
Semoga bermanfaat.
Harga Dunia
*Abu Ayaz*
Bismillah,
Rasulullah shallallaahu 'alayhi wa sallam berjalan melewati pasar sementara orang2 berjalan dikanan kiri Beliau.
Beliau melewati seekor anak kambing yang telinganya kecil dan sudah menjadi bangkai.
Beliau lalu mengangkatnya dan memegang telinganya kemudian bersabda,
"Siapa diantara kalian yang mau membeli ini dengan satu dirham (saja)?".
Mereka menjawab:
"Kami tidak mau membelinya dengan apapun. Apa yg bisa kami perbuat dengannya?"
Kemudian Beliau bertanya, "Apakah kamu suka ia milikmu?"
Mereka menjawab :
"Demi Allah seandainya ia hidup ia adalah aib (cacad), ia bertelinga kecil lalu bagaimana lagi ketika ia menjadi bangkai?"
Maka Beliau bersabda,
"Demi Allah dunia itu lebih hina bagi Allah daripada bangkai itu dalam pandangan kalian". (HR. Muslim 2957)
Semoga bermanfaat.
Bismillah,
Rasulullah shallallaahu 'alayhi wa sallam berjalan melewati pasar sementara orang2 berjalan dikanan kiri Beliau.
Beliau melewati seekor anak kambing yang telinganya kecil dan sudah menjadi bangkai.
Beliau lalu mengangkatnya dan memegang telinganya kemudian bersabda,
"Siapa diantara kalian yang mau membeli ini dengan satu dirham (saja)?".
Mereka menjawab:
"Kami tidak mau membelinya dengan apapun. Apa yg bisa kami perbuat dengannya?"
Kemudian Beliau bertanya, "Apakah kamu suka ia milikmu?"
Mereka menjawab :
"Demi Allah seandainya ia hidup ia adalah aib (cacad), ia bertelinga kecil lalu bagaimana lagi ketika ia menjadi bangkai?"
Maka Beliau bersabda,
"Demi Allah dunia itu lebih hina bagi Allah daripada bangkai itu dalam pandangan kalian". (HR. Muslim 2957)
Semoga bermanfaat.
Niat Menimba Ilmu
*Abu Ayaz*
Bismillah,
Abu Abdillah ar-Rudzabari
rahimahullah berkata,
“Barangsiapa yang berangkat menimba ilmu sementara yang dia inginkan semata-mata ilmu, maka ilmunya tidak akan bermanfaat baginya. Dan barangsiapa yang berangkat menimba ilmu dalam rangka mengamalkan ilmu yg akan dia dapatkan nanti, maka niscaya ilmu yang sedikit pun akan bermanfaat baginya.”
[Al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 71].
Berkata Muhammad bin Al-Fadhol Az-Zahid : “Rusaknya islam di tangan empat jenis manusia : pertama orang yang tidak mengamalkan ilmunya, kedua orang yang beramal dengan tanpa ilmu, ketiga orang yang tidak berilmu dan tidak beramal, keempat orang yang melarang orang lain mempelajari ilmu”. [Miftah Daarus Sa’adah, karya Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah : 1/490].
Semoga bermanfaat.
Bismillah,
Abu Abdillah ar-Rudzabari
rahimahullah berkata,
“Barangsiapa yang berangkat menimba ilmu sementara yang dia inginkan semata-mata ilmu, maka ilmunya tidak akan bermanfaat baginya. Dan barangsiapa yang berangkat menimba ilmu dalam rangka mengamalkan ilmu yg akan dia dapatkan nanti, maka niscaya ilmu yang sedikit pun akan bermanfaat baginya.”
[Al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 71].
Berkata Muhammad bin Al-Fadhol Az-Zahid : “Rusaknya islam di tangan empat jenis manusia : pertama orang yang tidak mengamalkan ilmunya, kedua orang yang beramal dengan tanpa ilmu, ketiga orang yang tidak berilmu dan tidak beramal, keempat orang yang melarang orang lain mempelajari ilmu”. [Miftah Daarus Sa’adah, karya Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah : 1/490].
Semoga bermanfaat.
Ahlussunnah Menasehati Pemerintah
*Abu Ayaz*
Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam menasihati Pemerintah
Prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah TIDAK mengadakan penghasutan atau provokasi utk memberontak pada pemerintah meskipun pemerintah berbuat Zhalim.
Petunjuk Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمََ.
"Barang siapa yg ingin menasihati pemerintah janganlah ia menampakkan dg terang2an. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dgnya. Jika penguasa itu mau mendengar nasihat itu maka itu yg terbaik dan bila penguasa itu enggan, maka ia telah sungguh melaksanakan amanah yg dibebankan kepadanya. (Hr. Ibnu Abi 'Ashim dalam as-Sunnah II/507-508)
Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak suka dan tidak rela dg kezhaliman dan kemunkaran yg dilakukan penguasa atau pemerintah. Akan tetapi cara mengingkarinya dan cara menasihatinya harus dengan petunjuk Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمََ. Dan atsar Salafus Shalih.
Bagi pelaku Demo. Orang yg demikian itu akan dihinakan اَللّهُ سبحانه وتعالى pada hari kiamat. Sebagaimana sabda Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمََ.
"Barang siapa yg memuliakan penguasa di dunia akan dimuliakan اَللّهُ سبحانه وتعالى di akhirat dan barang siapa yg menghinakan penguasa di dunia maka اَللّهُ سبحانه وتعالى akan hinakan dia pada hari Kiamat" (Hr. Ahmad V/42, 48-49)
Na 'Udzubillahhimindlalik.
Imam Ibnu 'Ashim dalam kitabnya As-Sunnah, memberikan bab "Apa2 yg diriwayatkan dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمََ. Yg memerintahkan utk memuliakan penguasa dan melarang keras menghinakannya" (as-sunnah II/ 475-476)
Menaati pemimpin secara ma'ruf merupakan salah satu dasar utama 'aqidah, kita wajib ta'at pada ulil amri, ketaatan itu termasuk kewajiban syar'i atas muslim.
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمََ. Memerintahkan kita bersabar thd kezhaliman penguasa karena kesabaran itu akan memberikan ganjaran yg besar. Lihat Hr. Muslim 1849.
Wallahu ta'ala bishowab semoga dapat membawa manfa'at buat kita semua menyikapi keputusan pemerintah dalam kenaikan BBM dan yg lainnya
Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam menasihati Pemerintah
Prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah TIDAK mengadakan penghasutan atau provokasi utk memberontak pada pemerintah meskipun pemerintah berbuat Zhalim.
Petunjuk Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمََ.
"Barang siapa yg ingin menasihati pemerintah janganlah ia menampakkan dg terang2an. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dgnya. Jika penguasa itu mau mendengar nasihat itu maka itu yg terbaik dan bila penguasa itu enggan, maka ia telah sungguh melaksanakan amanah yg dibebankan kepadanya. (Hr. Ibnu Abi 'Ashim dalam as-Sunnah II/507-508)
Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak suka dan tidak rela dg kezhaliman dan kemunkaran yg dilakukan penguasa atau pemerintah. Akan tetapi cara mengingkarinya dan cara menasihatinya harus dengan petunjuk Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمََ. Dan atsar Salafus Shalih.
Bagi pelaku Demo. Orang yg demikian itu akan dihinakan اَللّهُ سبحانه وتعالى pada hari kiamat. Sebagaimana sabda Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمََ.
"Barang siapa yg memuliakan penguasa di dunia akan dimuliakan اَللّهُ سبحانه وتعالى di akhirat dan barang siapa yg menghinakan penguasa di dunia maka اَللّهُ سبحانه وتعالى akan hinakan dia pada hari Kiamat" (Hr. Ahmad V/42, 48-49)
Na 'Udzubillahhimindlalik.
Imam Ibnu 'Ashim dalam kitabnya As-Sunnah, memberikan bab "Apa2 yg diriwayatkan dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمََ. Yg memerintahkan utk memuliakan penguasa dan melarang keras menghinakannya" (as-sunnah II/ 475-476)
Menaati pemimpin secara ma'ruf merupakan salah satu dasar utama 'aqidah, kita wajib ta'at pada ulil amri, ketaatan itu termasuk kewajiban syar'i atas muslim.
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمََ. Memerintahkan kita bersabar thd kezhaliman penguasa karena kesabaran itu akan memberikan ganjaran yg besar. Lihat Hr. Muslim 1849.
Wallahu ta'ala bishowab semoga dapat membawa manfa'at buat kita semua menyikapi keputusan pemerintah dalam kenaikan BBM dan yg lainnya
Amalan Dunia
*Abu Ayaz*
Bismillah,
Sungguh betapa bnyk org yg melaksanakan shalat malam, puasa dan sedekah, namun itu semua dilakukan hanya bertujuan utk menggapai kekayaan dunia, memperlancar rizki, umur panjang, dsb.
اَللّهُ ta'ala berfirman :
“Barangsiapa yg menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dgn sempurna dan mereka di dunia itu tdk akan dirugikan. Itulah org2 yg tdk memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yg telah mereka usahakan di dunia dan sia2lah apa yg telah mereka kerjakan.” (QS. Hud : 15-16)
Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhu- menafsirkan surat Hud ayat 15-16. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya org yg riya’, mereka hanya ingin memperoleh balasan kebaikan yg telah mereka lakukan, namun mereka minta segera dibalas di dunia.”
Ibnu ‘Abbas juga mengatakan,
“Barangsiapa yg melakukan amalan puasa, shalat atau shalat malam namun hanya ingin mengharapkan dunia, maka balasan dari Allah: “Allah akan memberikan baginya dunia yg ia cari2. Namun amalannya akan sia2 (lenyap) di akhirat nanti karena mereka hanya ingin mencari dunia. Di akhirat, mereka juga akan termasuk org2 yang merugi”.
[Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, tafsir surat Hud ayat 15-16]
اَللّهُ ta'ala berfirman :
“Barang siapa yg menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yg menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tdk ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.”
(QS. Asy Syuraa: 20)
“Umat ini diberi kabar gembira dg kemuliaan, kedudukan, agama dan kekuatan di muka bumi. Barangsiapa dari umat ini yg melakukan amalan akhirat utk meraih dunia, maka di akhirat dia tdk mendapatkan satu bagian pun.”
[HR. Ahmad, Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya, Al Hakim dan Al Baiaqi, Shahih. Al Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib]
Semoga bermanfaat.
Al-Imam Asy-Syaukaniy-rahimahullah- berkata dalam mengomentari hadits di atas, “Di dlm hadits itu trkandung faedah bahwa memasang penghalang hukumnya wajib.” [Lihat Nailul Authar (3/2)]
Beliau jg brkata, “Kebanyakan hadits yg menerangkan perintah utk memasang sutroh (penghalang) ketika shalat menunjukkan perintah wajib. Jika memang ada sesuatu yg bs memalingkan perintah wajib itu menjadi perintah sunnah, maka itulah hukumnya. Akan tetapi tdk pantas dipalingkan perintah wajib tsb oleh sabda Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- yg brbunyi, “Karena sesuatu yg lewat di depan org yg sholat tidak membahayakannya dlm sholatnya", krn menjauhi sesuatu yg bs mengganggu org yg sholat dlm sholatnya dan bs mnghilangkan sebagian pahala sholatnya adlah wajib”. [Lihat As-Sailul Jarrar (1/176)].
Qurroh bin Iyas -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
“Umar melihatku sedang shalat di antara dua tiang. Dia langsung memegang leherku dan mendekatkan aku ke sutroh (penghalang) sambil berkata, “Shalatlah menghadap sutroh (penghalang)”. [HR. Bukhariy dalam Shahih-nya (1/577) secara mu’allaq, dan Ibnu Abi Syaibah dlm Al-Mushonnaf (7502)
Seorang ulama Syafi’iyyah, Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Umar melakukan hal ini dgn maksud agar shalatnya Qurroh bin Iyas menghadap sutroh (penghalang)”. [Lihat Fathul Bari (1/577)]
Sahl bin Sa’d As-Sa’idi z berkata:
كَانَ بَيْنَ مُصَلَّى رَسُولِ اللهِ n وَبَيْنَ الْـجِدَارِ مَمَرُّ الشَّاةِ
“Jarak antara tempat berdirinya Rasulullah dalam shalatnya dengan tembok/dinding adalah sekadar lewatnya seekor kambing.” (HR. Al-Bukhari no. 496 dan Muslim no. 1134)
Al-Imam An-Nawawi menyatakan, “Dalam hadits ini menunjukkan bahwa merupakan perkara sunnah seorang yang shalat mendekat dengan sutrahnya.” (Al-Minhaj, 4/449)
Salamah ibnul Akwa’ menyebutkan:
كَانَ جِدَارُ الْـمَسْجِدِ عِنْدَ الْـمِنْبَر، مَا كَادَتِ الشَّاةُ تَجُوْزُهَا
“Dinding masjid Rasulullah di sisi mimbar, hampir-hampir seekor kambing tidak dapat melewatinya.” (HR. Al-Bukhari no. 497)
Maksudnya, jarak antara mimbar dengan dinding masjid dekat, sementara ketika shalat Rasulullah berdiri di samping mimbar, karena tidak ada mihrab dalam masjid beliau. Sehingga, jarak antara beliau dengan dinding sama dengan jarak antara mimbar dengan dinding, yaitu sekadar hanya bisa dilewati seekor kambing.
Ibnu Baththal berkata, “Ini jarak minimal seseorang yang shalat dengan sutrahnya, yaitu sekadar bisa dilewati seekor kambing.” Ada yang mengatakan jaraknya tiga hasta dan ini pendapat kebanyakan ahlul ‘ilmi. (Raddul Mukhtar Hasyiyatu Ibnu ‘Abidin 2/402, Al-Mughni Kitabus Shalah, fashl Dunu minas Sutrah, Al-Hawil Kabir 2/209, Al-Majmu` 3/226)
Dalilnya adalah hadits Bilal :
إِنَّ النَّبِيَّ n صَلَّى فِي الْكَعْبَةِ وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الْـجِدَارِ ثَلاَثَةُ أَذْرُعٍ
“Sesungguhnya Nabi shalat di Ka’bah, jarak antara beliau dan dinding sejauh tiga hasta.” (Al-Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Hadits ini diriwayatkan Ibnul Qasim dan Jama’ah dari Malik, dan sanad hadits ini lebih shahih dari sanad hadits Sahl ibnu Sa’d.” Lihat At-Tamhid 5/37, 38 dan Al-Istidzkar 6/171)
Ad-Dawudi ketika mengompromikan pendapat yang ada menyatakan bahwa yang paling minim adalah sekadar lewatnya seekor kambing dan maksimalnya tiga hasta. Sebagian ulama yang lain juga mengompromikan dengan menyatakan bahwa jarak yang awal adalah pada keadaan berdiri dan duduk, sedangkan jarak yang kedua pada keadaan ruku’ dan sujud. (Fathul Bari, 1/743, Adz-Dzakhirah, 2/157-158)
Al-Baghawi berkata, “Ahlul ilmi menganggap mustahab untuk mendekat kepada sutrah, di mana jarak antara orang yang shalat dengan sutrahnya sekadar memungkinkan untuk sujud. Demikian pula jarak antar shaf.” (Syarhus Sunnah, 2/447)
[Diambil dari berbagai situs terpercaya/tsiqoh]
Semoga bermanfaat.
Bismillah,
Sungguh betapa bnyk org yg melaksanakan shalat malam, puasa dan sedekah, namun itu semua dilakukan hanya bertujuan utk menggapai kekayaan dunia, memperlancar rizki, umur panjang, dsb.
اَللّهُ ta'ala berfirman :
“Barangsiapa yg menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dgn sempurna dan mereka di dunia itu tdk akan dirugikan. Itulah org2 yg tdk memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yg telah mereka usahakan di dunia dan sia2lah apa yg telah mereka kerjakan.” (QS. Hud : 15-16)
Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhu- menafsirkan surat Hud ayat 15-16. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya org yg riya’, mereka hanya ingin memperoleh balasan kebaikan yg telah mereka lakukan, namun mereka minta segera dibalas di dunia.”
Ibnu ‘Abbas juga mengatakan,
“Barangsiapa yg melakukan amalan puasa, shalat atau shalat malam namun hanya ingin mengharapkan dunia, maka balasan dari Allah: “Allah akan memberikan baginya dunia yg ia cari2. Namun amalannya akan sia2 (lenyap) di akhirat nanti karena mereka hanya ingin mencari dunia. Di akhirat, mereka juga akan termasuk org2 yang merugi”.
[Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, tafsir surat Hud ayat 15-16]
اَللّهُ ta'ala berfirman :
“Barang siapa yg menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yg menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tdk ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.”
(QS. Asy Syuraa: 20)
“Umat ini diberi kabar gembira dg kemuliaan, kedudukan, agama dan kekuatan di muka bumi. Barangsiapa dari umat ini yg melakukan amalan akhirat utk meraih dunia, maka di akhirat dia tdk mendapatkan satu bagian pun.”
[HR. Ahmad, Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya, Al Hakim dan Al Baiaqi, Shahih. Al Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib]
Semoga bermanfaat.
Al-Imam Asy-Syaukaniy-rahimahullah- berkata dalam mengomentari hadits di atas, “Di dlm hadits itu trkandung faedah bahwa memasang penghalang hukumnya wajib.” [Lihat Nailul Authar (3/2)]
Beliau jg brkata, “Kebanyakan hadits yg menerangkan perintah utk memasang sutroh (penghalang) ketika shalat menunjukkan perintah wajib. Jika memang ada sesuatu yg bs memalingkan perintah wajib itu menjadi perintah sunnah, maka itulah hukumnya. Akan tetapi tdk pantas dipalingkan perintah wajib tsb oleh sabda Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- yg brbunyi, “Karena sesuatu yg lewat di depan org yg sholat tidak membahayakannya dlm sholatnya", krn menjauhi sesuatu yg bs mengganggu org yg sholat dlm sholatnya dan bs mnghilangkan sebagian pahala sholatnya adlah wajib”. [Lihat As-Sailul Jarrar (1/176)].
Qurroh bin Iyas -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
“Umar melihatku sedang shalat di antara dua tiang. Dia langsung memegang leherku dan mendekatkan aku ke sutroh (penghalang) sambil berkata, “Shalatlah menghadap sutroh (penghalang)”. [HR. Bukhariy dalam Shahih-nya (1/577) secara mu’allaq, dan Ibnu Abi Syaibah dlm Al-Mushonnaf (7502)
Seorang ulama Syafi’iyyah, Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Umar melakukan hal ini dgn maksud agar shalatnya Qurroh bin Iyas menghadap sutroh (penghalang)”. [Lihat Fathul Bari (1/577)]
Sahl bin Sa’d As-Sa’idi z berkata:
كَانَ بَيْنَ مُصَلَّى رَسُولِ اللهِ n وَبَيْنَ الْـجِدَارِ مَمَرُّ الشَّاةِ
“Jarak antara tempat berdirinya Rasulullah dalam shalatnya dengan tembok/dinding adalah sekadar lewatnya seekor kambing.” (HR. Al-Bukhari no. 496 dan Muslim no. 1134)
Al-Imam An-Nawawi menyatakan, “Dalam hadits ini menunjukkan bahwa merupakan perkara sunnah seorang yang shalat mendekat dengan sutrahnya.” (Al-Minhaj, 4/449)
Salamah ibnul Akwa’ menyebutkan:
كَانَ جِدَارُ الْـمَسْجِدِ عِنْدَ الْـمِنْبَر، مَا كَادَتِ الشَّاةُ تَجُوْزُهَا
“Dinding masjid Rasulullah di sisi mimbar, hampir-hampir seekor kambing tidak dapat melewatinya.” (HR. Al-Bukhari no. 497)
Maksudnya, jarak antara mimbar dengan dinding masjid dekat, sementara ketika shalat Rasulullah berdiri di samping mimbar, karena tidak ada mihrab dalam masjid beliau. Sehingga, jarak antara beliau dengan dinding sama dengan jarak antara mimbar dengan dinding, yaitu sekadar hanya bisa dilewati seekor kambing.
Ibnu Baththal berkata, “Ini jarak minimal seseorang yang shalat dengan sutrahnya, yaitu sekadar bisa dilewati seekor kambing.” Ada yang mengatakan jaraknya tiga hasta dan ini pendapat kebanyakan ahlul ‘ilmi. (Raddul Mukhtar Hasyiyatu Ibnu ‘Abidin 2/402, Al-Mughni Kitabus Shalah, fashl Dunu minas Sutrah, Al-Hawil Kabir 2/209, Al-Majmu` 3/226)
Dalilnya adalah hadits Bilal :
إِنَّ النَّبِيَّ n صَلَّى فِي الْكَعْبَةِ وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الْـجِدَارِ ثَلاَثَةُ أَذْرُعٍ
“Sesungguhnya Nabi shalat di Ka’bah, jarak antara beliau dan dinding sejauh tiga hasta.” (Al-Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Hadits ini diriwayatkan Ibnul Qasim dan Jama’ah dari Malik, dan sanad hadits ini lebih shahih dari sanad hadits Sahl ibnu Sa’d.” Lihat At-Tamhid 5/37, 38 dan Al-Istidzkar 6/171)
Ad-Dawudi ketika mengompromikan pendapat yang ada menyatakan bahwa yang paling minim adalah sekadar lewatnya seekor kambing dan maksimalnya tiga hasta. Sebagian ulama yang lain juga mengompromikan dengan menyatakan bahwa jarak yang awal adalah pada keadaan berdiri dan duduk, sedangkan jarak yang kedua pada keadaan ruku’ dan sujud. (Fathul Bari, 1/743, Adz-Dzakhirah, 2/157-158)
Al-Baghawi berkata, “Ahlul ilmi menganggap mustahab untuk mendekat kepada sutrah, di mana jarak antara orang yang shalat dengan sutrahnya sekadar memungkinkan untuk sujud. Demikian pula jarak antar shaf.” (Syarhus Sunnah, 2/447)
[Diambil dari berbagai situs terpercaya/tsiqoh]
Semoga bermanfaat.
Pelurusan Pengetahuan Minal Aidin
*Abu Ayaz*
MINAL AIDIN WAL FAIZIN TIDAK ADA DAN TIDAK DIKENAL DALAM BUDAYA ARAB ( APALAGI ISLAM )
Bismillah,
Frasa yang akan banyak diucapkan orang di hari raya ‘iedul fitri adalah “MINAL AIDIN WAL FAIZIN”.
Seringkali frasa berbahasa Arab ini diikuti dengan frasa berbahasa Indonesia : "mohon maaf lahir dan batin".
Orang mengucapkan dua frasa ini biasanya sambil menyorongkan tangan untuk bersalaman.
SMS pun akan banyak mengutip frasa ini. Bahkan iklan di media cetak dan televisi juga menampilkan rangkaian kata ini. Seringkali pula tulisan berhuruf latin ini dibikin sedemikian rupa sehingga menyerupai kaligrafi huruf Arab.
Tapi, tahukah kita bahwa frasa “Minal Aidin Wal Faizin” itu tidak dikenal dalam budaya Arab (terlebih lagi dalam islam)?
Dalam buku berjudul “Bahasa!” terbitan TEMPO. Di halaman 177 buku ini, Qaris Tajudin mengungkapkan bahwa "memang frasa Minal Aidin Wal Faizin berasal dari bahasa Arab, bahasa yang banyak menyumbang istilah keagamaan di Indonesia, baik agama Islam maupun Kristen.” Qaris mengatakan bahwa selain tidak dikenal dalam budaya Arab, frasa Minal Aidin Wal Faizin juga hanya dapat dimengerti oleh orang Indonesia. Frasa ini bisa ditemui dalam kamus bahasa Indonesia, tapi tidak ditemukan dalam kamus bahasa Arab, kecuali dalam tema kata per kata.
Lalu, apa arti Minal Aidin Wal Faizin?
Terjemahan frasa ini adalah : "dari orang yang kembali dan orang-orang yang menang".
Mungkin maksud lengkapnya adalah : ”Semoga Anda termasuk orang-orang yang kembali (ke jalan Tuhan) dan termasuk orang yang menang (melawan hawa nafsu).”
Ternyata, adalah suatu kesalahan besar jika kita mengartikan Minal Aidin Wal Faizin dengan “mohon maaf lahir dan batin”.
http://www.abuayaz.co.cc/2010/08/mengenal-makna-minal-aidin-wal-faidzin.html
Semoga bermanfaat.
MINAL AIDIN WAL FAIZIN TIDAK ADA DAN TIDAK DIKENAL DALAM BUDAYA ARAB ( APALAGI ISLAM )
Bismillah,
Frasa yang akan banyak diucapkan orang di hari raya ‘iedul fitri adalah “MINAL AIDIN WAL FAIZIN”.
Seringkali frasa berbahasa Arab ini diikuti dengan frasa berbahasa Indonesia : "mohon maaf lahir dan batin".
Orang mengucapkan dua frasa ini biasanya sambil menyorongkan tangan untuk bersalaman.
SMS pun akan banyak mengutip frasa ini. Bahkan iklan di media cetak dan televisi juga menampilkan rangkaian kata ini. Seringkali pula tulisan berhuruf latin ini dibikin sedemikian rupa sehingga menyerupai kaligrafi huruf Arab.
Tapi, tahukah kita bahwa frasa “Minal Aidin Wal Faizin” itu tidak dikenal dalam budaya Arab (terlebih lagi dalam islam)?
Dalam buku berjudul “Bahasa!” terbitan TEMPO. Di halaman 177 buku ini, Qaris Tajudin mengungkapkan bahwa "memang frasa Minal Aidin Wal Faizin berasal dari bahasa Arab, bahasa yang banyak menyumbang istilah keagamaan di Indonesia, baik agama Islam maupun Kristen.” Qaris mengatakan bahwa selain tidak dikenal dalam budaya Arab, frasa Minal Aidin Wal Faizin juga hanya dapat dimengerti oleh orang Indonesia. Frasa ini bisa ditemui dalam kamus bahasa Indonesia, tapi tidak ditemukan dalam kamus bahasa Arab, kecuali dalam tema kata per kata.
Lalu, apa arti Minal Aidin Wal Faizin?
Terjemahan frasa ini adalah : "dari orang yang kembali dan orang-orang yang menang".
Mungkin maksud lengkapnya adalah : ”Semoga Anda termasuk orang-orang yang kembali (ke jalan Tuhan) dan termasuk orang yang menang (melawan hawa nafsu).”
Ternyata, adalah suatu kesalahan besar jika kita mengartikan Minal Aidin Wal Faizin dengan “mohon maaf lahir dan batin”.
http://www.abuayaz.co.cc/2010/08/mengenal-makna-minal-aidin-wal-faidzin.html
Semoga bermanfaat.
Jangan ambil ilmu dari 4 model orang
*Abu Ayaz*
Bismillah,
Umar bin Kaththab radhiallahu 'anhu berkata :
“Hati-hatilah kalian dari ashhabir ra’yi (kaum yang menilai kebenaran dengan akalnya), karena sesungguhnya mereka itu adalah musuh-musuh sunnah. Mereka merasa sulit untuk menghapal hadits sehingga mereka bodoh terhadap as sunnah, mereka berbicara agama dengan akalnya dan akhirnya mereka sesat dan menyesatkan.”
[Sunan Ad Daruquthni, Al Washaya 4/146, Jami’ Bayanil Ilmi 2/123, dan Al Lalika’i 1/123. Lihat kitab Muqaddimat fil Ahwa’ wal Bida’ oleh Nasir bin Abdul Karim Al ‘Aql halaman 61]
Dari Ma'an bin Isa berkata, bahwa Imam Malik bin anas (wafat 796 M) berkata :
"Janganlah kamu mengambil ilmu (agama) dari 4 model orang, dan ambillah dari selainnya ; yakni,
1. Jangan kamu ambil ilmu dari orang yang bodoh yang jelas kebodohannya;
2. Dari pendusta yang telah terbukti pernah berdusta kepada manusia walaupun belum pernah tertuduh berdusta atas nama Rasulullah;
3. Dari ahli bid'ah yang mengajak kepada ke bid'ahan;
4. Dan dari tokoh agama yang memiliki banyak kelebihan dan ibadah namun tidak mampu memilah antara hadits shahih dengan yang dho'if".[Al Kifaayah ((303)1/356),dan al-Jaaami' ((171)1/212),oleh Abu Bakar al-Baghdadi]
[Disalin darik kitab "Ensiklopedi Penghujatan terhadap Sunnah", oleh Ustadz Zainal Abidin Lc.]
Semoga bermanfaat.
Bismillah,
Umar bin Kaththab radhiallahu 'anhu berkata :
“Hati-hatilah kalian dari ashhabir ra’yi (kaum yang menilai kebenaran dengan akalnya), karena sesungguhnya mereka itu adalah musuh-musuh sunnah. Mereka merasa sulit untuk menghapal hadits sehingga mereka bodoh terhadap as sunnah, mereka berbicara agama dengan akalnya dan akhirnya mereka sesat dan menyesatkan.”
[Sunan Ad Daruquthni, Al Washaya 4/146, Jami’ Bayanil Ilmi 2/123, dan Al Lalika’i 1/123. Lihat kitab Muqaddimat fil Ahwa’ wal Bida’ oleh Nasir bin Abdul Karim Al ‘Aql halaman 61]
Dari Ma'an bin Isa berkata, bahwa Imam Malik bin anas (wafat 796 M) berkata :
"Janganlah kamu mengambil ilmu (agama) dari 4 model orang, dan ambillah dari selainnya ; yakni,
1. Jangan kamu ambil ilmu dari orang yang bodoh yang jelas kebodohannya;
2. Dari pendusta yang telah terbukti pernah berdusta kepada manusia walaupun belum pernah tertuduh berdusta atas nama Rasulullah;
3. Dari ahli bid'ah yang mengajak kepada ke bid'ahan;
4. Dan dari tokoh agama yang memiliki banyak kelebihan dan ibadah namun tidak mampu memilah antara hadits shahih dengan yang dho'if".[Al Kifaayah ((303)1/356),dan al-Jaaami' ((171)1/212),oleh Abu Bakar al-Baghdadi]
[Disalin darik kitab "Ensiklopedi Penghujatan terhadap Sunnah", oleh Ustadz Zainal Abidin Lc.]
Semoga bermanfaat.
Ternyata Lebih Berat
*Abu Ayaz*
Bismillah,
Sahl bin Abdullah At Tasturi rahimahullah berkata, "Meninggalkan perintah lebih besar dosanya di sisi Allah dari melakukan maksiat. Karena Adam dilarang memakan buah sebuah pohon, ternyata Adam memakannya, namun Allah memberinya taubat. Sedangkan iblis diperintahkan untuk sujud kepada Adam, tapi ia tidak mau sujud, dan Allah tidak memberinya taubat."
Mengapa demikian??
Lebih dari 20 alasan yang diberikan oleh ibnu Qayyim..
Diantaranya :
1. Pendorong maksiat biasanya syahwat..
Sedangkan pendorong meninggalkan perintah biasanya kesombongan..
2. Melakukan perintah lebih dicintai oleh Allah dari meninggalkan larangan..
3. Melakukan perintah menjaga kekuatan iman, sedangkan meninggalkan larangan menghindari sesuatu yang merusak kekuatan iman.. Sedangkan menjaga lebih didahulukan dari menghindari..
Dst.. (Al Fawaid hal 154-166).
[Ust. Badrusalam, group Al Ilmu]
Bismillah,
Sahl bin Abdullah At Tasturi rahimahullah berkata, "Meninggalkan perintah lebih besar dosanya di sisi Allah dari melakukan maksiat. Karena Adam dilarang memakan buah sebuah pohon, ternyata Adam memakannya, namun Allah memberinya taubat. Sedangkan iblis diperintahkan untuk sujud kepada Adam, tapi ia tidak mau sujud, dan Allah tidak memberinya taubat."
Mengapa demikian??
Lebih dari 20 alasan yang diberikan oleh ibnu Qayyim..
Diantaranya :
1. Pendorong maksiat biasanya syahwat..
Sedangkan pendorong meninggalkan perintah biasanya kesombongan..
2. Melakukan perintah lebih dicintai oleh Allah dari meninggalkan larangan..
3. Melakukan perintah menjaga kekuatan iman, sedangkan meninggalkan larangan menghindari sesuatu yang merusak kekuatan iman.. Sedangkan menjaga lebih didahulukan dari menghindari..
Dst.. (Al Fawaid hal 154-166).
[Ust. Badrusalam, group Al Ilmu]
Nasehat dari pengajar akidah di masjid Nabawi
*Kholid Syamhudi*
10 Nasehat Untuk pemuda Ahlus Sunnah yg disampaikan Syeikh DR. Ibrohim bin 'amir ar-Ruhaili (pengajar aqidah di masjid Nabawi). Semoga bermanfaat dan tidak mengganggu.
-----------------------
Nasehat part 1.
Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam. Sholawat dan salam, semoga senantiasa dilimpahkan kepada nabi kita Nabi Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya.
Amma ba’du:
Berikut ini adalah untaian nasehat yang ditujukan kepada para pemuda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, yang harus ditulis dalam rangka andil dalam menasehati kaum muslimin, dan mendamaikan antar Ahlis Sunnah, sebagaimana dianjurkan dalam banyak dalil-dalil syari'at.
Yang mendorong saya menulis nasehat ini, adalah fenomena yang dialami banyak pemuda salafiyyin, di berbagai negeri islam, bahkan di negeri-negeri kafir yang dihuni oleh minoritas kaum muslimin. fenomena ini berupa perpecahan besar yang disebabkan perbedaan pendapat dalam beberapa masalah ilmiyyah, dan sikap-sikap kongkrit dalam menghadapi sebagian orang yang menyelisihi (manhaj ahlusunnah). Juga Fenomena yang muncul dari permasalahan tersebut berupa pemutusan hubungan dan pemboikotan (hajr). Bahkan sampai tindakan berlebihan dan melampaui batas antar ahlu Sunnah hingga fitnahnya membesar dan bahayanya tampak mengerikan. Hal ini telah menghambat laju perjuangan dakwah menuju As Sunnah, dan bahkan menghalangi sebagian orang untuk mengikutinya. Padahal sebelumnya masyarakat umum diberbagai daerah dan negeri telah menerimanya.
Saya akan ringkas nasehat ini dalam beberapa poin berikut, dengan mengharap kepada Allah, untuk melimpahkan kepadaku keikhlasan niat, dan kebenaran dalam ucapan, serta memberikan manfaat kepada setiap orang muslim yang membacanya.
(1-1).
Nasehat Pertama : Termasuk salah satu prinsip yang telah baku dalam agama Islam, bahwa setiap muslim hendaknya berusaha dengan sungguh-sungguh membenahi diri dan berupaya merealisasikan keselamatan serta menjauhkan semua yang akan menyebabkan kebinasaan terhadap dirinya, sebelum menyibukkan diri dengan (kekurangan) orang lain. Sebagaimana firman Allah Ta'ala yg Artinya : Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amal saleh, dan nasehat- menasehati supaya menetapi kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al Asher 1-3).
Allah memberitakan tentang orang-orang yang selamat dari kerugian (tidak merugi) adalah orang-orang yang terwujud pada dirinya perangai-perangai (sifat) tersebut. Allah menyebutkan, bahwa mereka telah merealisasikan pada diri mereka keimanan, dan amal sholeh terlebih dahulu, sebelum mereka mendakwahi orang lain. Dakwah dengan nasehat-menasehati supaya menetapi kebenaran, dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran. Inilah dasar penetapan masalah ini.
Demikian juga Allah ta'ala telah mencela Bani Isra’il, dikarenakan mereka menyelisihi prinsip ini, dalam firmanNya yang artinya :
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Alkitab (Taurat) Maka tidakkah kamu berpikir? (QS. Al Baqarah :44)
Oleh karena itu, hendaklah setiap pemuda memperhatikan pembenahan dirinya sendiri, sebelum berusaha membenahi orang lain. Tatkala dirinya telah mencapai istiqomah dalam hal itu dan menyatukan antara penerapan ajaran agama pada dirinya dengan perjuangan mendakwahi orang lain, maka ia benar-benar berada diatas petunjuk salaf dan Allah akan melimpahkan kemanfaatan dari (dakwah) nya.
(1-2)
Mereka menjadi da’i kepada As Sunnah dengan ucapan dan perilakunya. Dan sungguh demi Allah, inilah kedudukan tertinggi yang bila seseorang berhasil mencapainya, maka ia termasuk hamba Allah yang paling baik kedudukannya pada hari kiamat.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata:"Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri" (QS. Fusshilat:33)
Nasehat kedua besok pagi insya Allah......
10 Nasehat lanjutan (2-1).
Nasehat Kedua : Hendaknya diketahui, bahwa yang benar-benar dikatakan sebagai Ahlis Sunnah adalah mereka yang menjalankan dengan sempurna (ajaran) agama islam, baik secara idiologi (I'tikad), ataupun perilaku (Suluk).
Satu kesalahpahaman, bila yang dianggap sebagai Ahlis Sunnah atau seorang Salafy, adalah orang yang merealisasikan Aqidah Ahlis Sunnah semata, tanpa memperhatikan sisi perilaku, adab-adab islam dan menunaikan hak-hak antar sesama muslim.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah pada akhir kitab “Al Aqidah Al Wasithiyyah” setelah menyampaikan pokok ajaran Ahlu Sunnah dalam I'tikad berkata: “Kemudian mereka (Ahlis Sunnah wal Jama’ah), selain merealisasikan prinsip-prinsip ini: Saling memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari yang mungkar sesuai tuntutan syari’at. Mereka memandang penunaian ibadah haji, jihad, sholat jum’at, sholat ‘id, bersama para pemimpin (penguasa), baik pemimpin yang baik (adil) ataupun yang jahat. Mereka senantiasa menegakkan sholat berjama’ah dan menjalankan tanggung jawab memberikan nasehat kepada ummat.
Mereka juga meyakini makna sabda Nabi:
الْمُؤْمِنُ لِلْمؤمِنِ كَالْبُنْيَانِ الْمَرْصُوْصِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“(permisalan peran) Seorang mukmin terhadap seorang mukmin lain, bagaikan sebuah bangunan yang kokoh, yang sebagiannya menopang (menguatkan) sebagian lainnya”. Lalu Rasululloh menjalin jari-jemarinya dan sabda Rasululloh :
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالْحُمَّىوَا لسَّهَرِ
Permisalan kaum mukminin dalam kecintaan, lemah lembut dan kasih sayang seperti satu tubuh, apabila satu anggota tubuh sakit maka seluruh tubuhnya merasakan demam dan tidak bisa tidur. (Muttafaqun 'Alaihi).
(2-2).
Mereka memerintahkan untuk sabar, tatkala ditimpa cobaan (kesusahan) dan bersyukur tatkala mendapatkan kelapangan serta ridho dengan perjalanan takdir yang pahit. Mereka menyeru kepada akhlaq-akhlaq mulia, dan amal-amal terpuji dan meyakini makna sabda Nabi :
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang paling baik akhlaqnya”.
Mereka senantiasa menganjurkan untuk menyambung (hubungan dengan) orang yang memutuskan hubungan denganmu, dan memberi orang yang enggan memberimu, memaafkan orang yang menzalimimu. Mereka juga saling memerintahkan untuk senantiasa berbakti kepada kedua orang tua, juga untuk bersilaturahmi dan berbuat baik kepada tetangga.
Mereka juga melarang perangai berbangga diri, sombong, melampaui batas, melanggar hak orang lain, baik dengan alasan yang dibenarkan atau tidak.
Mereka senantiasa memerintahkan agar komitmen dan menjaga akhlaq terpuji dan mencegah dari akhlaq tercela.
Senua perkataan dan perbuatan mereka dari hal-hal tersebut diatas, atau lainnya, mereka senantiasa mengikuti Al Kitab (Al Qur’an) dan As Sunnah, dan jalan hidup mereka adalah agama islam yang dengannya Allah mengutus Nabi Muhammad.
Nasehat ketiga
(3-1).
Nasehat Ketiga : Diantara tujuan agung yang dianjurkan agama islam (untuk dicapai), ialah mengajak manusia untuk menganut agama ini, sebagaimana Nabi sampaikan kepada sahabat Ali ketika mengutusnya ke Khaibar (yaitu pada saat perang Khaibar):
(لأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ) أخرجه الشيخان، البخاري، برقم: (4210)، ومسلم برقم: (2406).
“Seandainya Allah memberi petunjuk denganmu seseorang saja, itu lebih baik bagimu dibanding (memiliki) unta merah”.(HR Bukhory no:4210, dan Muslim 2406).
Oleh sebab itu, orang-orang yang telah di karuniai mendapatkan hidayah (petunjuk) kepada (mengamalkan) As Sunnah, hendaknya bersungguh-sungguh mendakwahi orang yang masih tersesat dari As Sunnah, atau kurang perhatian dengannya. Mendakwahi mereka agar benar-benar merealisasikan As Sunnah. Hendaknya mereka menempuh segala daya dan upaya yang dapat ia lakukan, dalam menuntun manusia dan mendekatkan pintu hati mereka untuk menerima kebenaran.
Hal itu dengan cara mendakwahi mereka dengan lemah lembut, sebagaimana firman Allah tatkala berbincang-bincang kepada Nabi Musa dan Harun :
Artinya: “Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah malampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut". (QS. Thaha: 43-44)
Juga dengan cara memanggilnya dengan julukan-julukan yang sesuai dengan kedudukannya. Sebagaimana dahulu Nabi ketika menulis surat kepada Hiraqlius, dengan bersabda:
إِلَى هِرَقْلَ عَظِيْمِ الرُّوْمِ
“kepada Hiraql, Pemimpin Romawi”.
Beliau juga memberikan kuniyyah kepada Abdillah bin Ubai bin Salul dengan “Abil Habbab”.
Demikian juga dengan bersabar dalam menghadapi kekerasan sikap orang yang didakwahi, dan membalasnya dengan perilaku baik, dan janganlah tergesa-gesa menuntut mereka untuk segera menerima kebenaran?
(3-2)
Allah berfirman :
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul (ulul ‘Azmi) telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka”.
⌣̊┈̥-̶̯͡♈̷̴┈̥-̶̯͡⌣̊
Nasehat keempat
(4-1)
Nasehat Keempat : Hendaknya kita semua (Tholabatul Ilmi), terutama para da’i, dapat membedakan antara Al Mudarah dan Al Mudahanah. Karena AL Mudarah adalah suatu hal yang dianjurkan, yaitu: sikap lemah lembut dalam pergaulan, sebagaimana disebutkan dalam kitab “Lisanul ‘Arab”: “Bersikap Mudarah terhadap orang lain adalah dengan beramah-tamah kepada mereka, berhubungan dengan cara yang baik, dan bersabar menghadapi gangguan mereka, agar mereka tidak menjauh darimu”.() Sedangkan Al Mudahanah (menjilat) adalah sikap tercela, yaitu sikap (mengorbankan) agama, Allah berfirman :
] ودوا لو تدهن فيدهنون [ القلم 9
Artinya : Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu). (QS. Al Qolam :9).
Al Hasan Al Bashry menafsirkan makna ayat ini dengan berkata: “ Mereka menginginkan agar engkau berpura-pura dihadapan mereka, sehingga mereka juga akan berpura-pura pula dihadapanmu”. (Tafsir AL baghowy 4/377).
Dengan demikian, orang yang bersikap mudarah akan berlemah lembut dalam pergaulan, tanpa meninggalkan sedikitpun dari prinsip agamanya, sedangkan orang yang bersikap mudahin, ia akan berusaha menarik simpati orang lain dengan cara meninggalkan sebagian prinsip agamanya.
Sungguh dahulu Nabi , merupakan figur paling baik akhlaqnya, dan paling lemah lembut terhadap umatnya, dan ini sebagai perwujudan sisi lemah lembut, dan ramah tamah dari perangai beliau. Di sisi lain, beliau adalah orang paling kuat dalam (mengemban) agama Allah, sehingga beliau tidak akan meninggalkan prinsip agama, barang satupun, walau dihadapan siapapun, dan ini adalah perwujudan sisi keteguhan hati beliau dalam mengemban (prinsip-prinsip) agama. Dan sisi perangai beliau ini sangat bertentangan dengan sikap mudahanah (menjilat).
(4-2 )
Hendaknya para pelajar, memperhatikan perbedaan antara kedua perangai ini, karena sebagian orang beranggapan, bahwa bersikap ramah-tamah kepada orang lain, dan berlemah lembut, sebagai tanda lemah dan luluh dalam (mengemban perintah) agama. Disaat yang lain, ada yang beranggapan bahwa: sikap membiarkan orang lain dalam kebatilan, dan berdiam diri tatkala melihat kesalahan, adalah bagian dari sikap ramah-tamah (Ar rifqu). Sudah barang tentu kedua kelompok (anggapan) ini adalah, salah, dan tersesat dari kebenaran. Hendaknya hal ini benar-benar diperhatikan dengan baik, karena kesalah pahaman pada permasalahan ini, sangat berbahaya, dan tiada yang dapat terlindung darinya, kecuali orang-orang yang mendapatkan taufiq (bimbingan) dan petunjuk dari Allah.
Nasehat kelima (5-1)
Nasehat Kelima : Seorang juru dakwah, dalam mendakwahi orang, memiliki dua metode yang diajarkan dalam syari’at, sebagaimana yang disebutkan dalam banyak dalil, yaitu: metode menarik simpati dan targhib (menganjurkan), dan metode hajer (memboikot/menjauhi) dan mengancam. Sehingga salah bila seseorang bersikap monoton (hanya menerapkan satu metode) kepada setiap orang.
Akan tetapi hendaknya ditempuh metode yang paling berguna dan sesuai dengan masing-masing pelanggar (orang yang menyeleweng), sehingga lebih besar harapan untuk ia dapat menerima kebenaran, dan kembali kepada jalan yang lurus. Apabila dengan metode menarik simpati-lah yang lebih bermanfaat, dan lebih besar harapannya bila diterapkan kepada seorang pelanggar, agar ia menjadi baik, maka metode inilah yang disyari’atkan (dibenarkan) dalam menghadapi orang tersebut. Begitu juga sebaliknya, bila metode hajer (memboikot) lebih berguna bila diterapkan kepadanya, maka metode inilah yang disyari’atkan.
Kesimpulannya: barang siapa yang menerapkan metode menarik simpati, terhadap orang yang selayaknya dihajer (diboikot), maka ia telah bertindak gegabah dan lalai. Dan barang siapa yang menerapkan metode hajer (boikot) terhadap orang yang selayaknya ditarik simpatinya, maka ia telah berlaku munaffir (menjadikan orang lain lari) dan ekstrim.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “(Syari’at) menghajer, berbeda-beda sejalan dengan perbedaan orang yang menerapkannya, dipandang dari kuat, tidaknya, dan sedikit, banyaknya jumlah mereka; karena tujuan dari (penerapan) hajer (boikot) adalah menghardik orang yang dihajer (diboikot), memberi pelajaran kepadanya, dan agar masyarakat umum meninggalkan kesalahan tersebut.
Sehingga apabila manfaat dan kemaslahatan yang dipetik dari sikap hajer (boikot) lebih besar (dibanding dengan kerugiannya), sehingga dengan ia diboikot, kejelekan menjadi melemah, dan sirna, maka pada saat itulah hajer (boikot) disyariatkan.
(5-2)
Akan tetapi bila orang yang diboikot, dan orang lainnya tidak menjadi jera, bahkan kejelekannya semakin bertambah, sedangkan pelaku hajer (boikot) kedudukannya lemah, sehingga kerugian yang ditimbulkan lebih besar dibanding maslahatnya, maka pada keadaan yang demikian ini, tidak disyariatkan hajer (boikot).
Bahkan menarik simpati sebagian orang itu lebih berguna dibanding memboikotnya, dan memboikot sebagian lainnya, lebih berguna dibanding menarik simpatinya. Oleh karena itu, dahulu Nabi e menarik simpati sebagian orang, dan memboikot sebagian lainnya…
Yang demikian ini, sebagaimana halnya menghadapi musuh, kadang kala disyariatkan peperangan, dan kadang kala perdamaian, dan kadang kala dengan cara mengambil jizyah (upeti), semua itu disesuaikan dengan situasi dan kemaslahatan.
Jawaban para imam, seperti imam Ahmad dan lainnya, tentang permasalahan ini, didasari oleh prinsip tersebut”. (Majmu’ Fatawa 28/206).
Beliau menjelaskan kesalahan orang yang menyama ratakan dalam menerapkan hajer (boikot) atau menarik simpati, tanpa memperhatikan prinsip tersebut diatas, dengan berkata: “Sesungguhnya sebagian orang menjadikan hal tersebut (hajer atau menarik simpati) sebagai suatu keumuman, sehingga mereka menghajer atau mengingkari orang yang tidak disyariatkan, tidak diwajibkan dan juga tidak disunnahkan. Dan mungkin saja dikarenakan kesalahan ini, menyebabkannya meninggalkan hal-hal yang diwajibkan atau disunnahkan, dan akibatnya ia melanggar hal-hal yang diharamkan.
Dan disisi lain ada sebagian orang yang berpaling dari itu semua, sehingga ia enggan untuk membaoikot (menjauhi) sesuatu yang diperintahkan untuk diboikot (dijauhi), yaitu berupa hal-hal buruk lagi bid’ah”. (Majmu’ Fatawa 28/213).
Nasehat keenam
(6-1)
Nasehat Keenam : Sepantasnya setiap orang yang hendak menerapkan masalah hajer (boikot) untuk memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam syari’at, yang telah digariskan oleh para ulama’ yang berkompeten dalam hal ini. Sehingga melalui ketentuan-ketentuan tersebut benar-benar terbedakan dengan jelas, antara pelaku kesalahan yang disyari’atkan (layak) untuk diboikot dari orang yang tidak layak. Ketentuan-ketentuan tersebut, diantaranya, ialah :
1. Yang berkaitan dengan pemboikot.
Yaitu hendaknya orang yang kuat, memiliki pengaruh, sehingga pemboikotan yang ia lakukan menimbulkan pengaruh, yang berupa teguran terhadap pelaku kesalahan. Adapun bila pemboikot adalah orang yang lemah, maka boikot yang ia lakukan tidak akan membuahkan hasilnya
Ketentuan ini berlaku bila tujuan pemboikotan adalah untuk memberikan pelajaran kepada pelaku kesalahan.
Adapun bila tujuannya ialah demi menjaga kemaslahatan pemboikot, yaitu karena ditakutkan akan timbul kerusakan dalam urusan agamanya, bila ia bergaul dengan pelaku kesalahan, maka ia dibenarkan untuk memboikot setiap orang yang akan mendatangkan kerugian baginya, bila ia bergaul atau duduk-duduk dengannya.
Yang demikian ini, dikarenakan hajer (boikot) disyariatkan demi mencapai kemaslahatan pemboikot, yaitu dengan cara memboikot setiap orang yang bila ia bergaul dengannya akan merusak agamanya, Sebagaimana disyariatkan demi mencapai kemaslahatan orang yang diboikot, yaitu dengan cara memboikot pelaku kesalahan, yang diharapkan akan mendapat pelajaran, bila diboikot.
Dan hajer (boikot) juga disyariatkan, demi mencapai kemaslahatan masyarakat banyak, yaitu dengan cara memboikot sebagian pelaku kesalahan, sehingga masyarakat, menjadi jera dan takut untuk melakukan perbuatan seperti perbuatan mereka. Dan banyak dalil yang menunjukkan setiap macam dari ketiga jenis pemboikotan ini.
(6-2)
2. Yang berkaitan dengan orang yang diboikot.
Yaitu apabila ia akan mendapatkan manfaat dengan terjadinya pemboikotan atas dirinya, sehingga ia terpengaruh dan kembali kepada kebenaran. Adapun bila tidak mendapatkan manfaat dengannya, bahkan kadang kala semakin bertambah jauh dan menentang, maka tidak disyariatkan untuk memboikotnya. Dan hal ini bisa saja kembalinya kepada tabi’at yang dimiliki oleh sebagian orang; kuat, keras, dan enggan untuk tunduk kepada orang lain, walau tabiat ini akan menjadikannya binasa. Nah orang semacam ini tidak akan mendapatkan pelajaran dari hukuman, dan boikot, akan tetapi kadang kala dapat dipengaruhi dengan cara menarik simpati, dan sikap ramah tamah.
Ada kalanya yang menyebabkan ia tidak mendapatkan manfaat dari pemboikotan adalah adanya kendala-kendala lain, misalnya, karena ia adalah seorang pemimpin, atau kaya raya, atau orang yang memiliki kedudukan sosial di masyarakat. Orang-orang semacam mereka, biasanya tidak akan berguna bila diboikot, karena mereka biasanya merasa tidak butuh terhadap orang yang memboikotnya. Oleh karena itu dahulu Nabi menarik simpati para pemimpin yang ditaati dikaumnya, begitu juga pemuka masyarakat, seperti halnya Abu Sufyan, ‘Uyainah bin Hishn, Al Aqra’ bin Habis, dan yang serupa dengan mereka.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Oleh karena itu, dahulu Nabi menarik perhatian sebagian orang, dan memboikot sebagaian lainnya, sebagaimana halnya tiga orang sahabat yang tidak ikut (dalam perang Tabuk), ketiga-tiganya lebih baik bila dibanding kebanyakan orang-orang yang ditarik perhatiannya. Hal ini dikarenakan mereka (orang-orang yang ditarik perhatiannya) adalah para pemimpin, lagi ditaati di kabilah masing-masing …”. (Majmu’ Fatawa 28/206).
(6-3)
3. Yang berkaitan dengan jenis pelanggaran.
Tidak ada jenis pelanggaran yang dapat dikatakan: bahwa pelakunya selalu diboikot, dalam situasi apapun, atau selalu tidak diboikot, dalam situasi apapun. Sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa setiap perbuatan bid’ah pasti diboikot, sedangkan perbuatan maksiat, tidak, atau bid’ah mukaffirah (yang menyebabkan pelakunya diklaim kafir) diboikot, sedang selainnya tidak, atau dosa-dosa besar diboikot, sedang dosa-dosa kecil tidak.
Yang benar adalah, disyariatkan memboikot setiap (pelaku) kesalahan, walaupun kecil, apabila ia adalah orang yang layak untuk dihajer (diboikot) dan ia akan mendapatkan manfaat dengannya. Dengan demikian yang menjadi inti permasalahan dalam hal ini ialah; apakah pelaku pelanggaran tersebut mendapatkan manfaat dari pemboikotan atau tidak, tanpa memperhatikan besar kecilnya pelanggaran. Sehingga mungkin saja seorang yang sholeh, pengagung As Sunnah, diboikot, hanya karena kesalahan kecil, sebagaimana halnya Nabi memboikot sebagian sahabatnya, karena sebagian pelanggaran kecil. Sebagai contoh, beliau memboikot ‘Ammar bin Yasir tatkala menggunakan minyak za’faran. (HR Abu Dawud dalam kitab As Sunnan 5/8), dan beliau tidak menjawab ucapan salam seorang sahabat yang memiliki kubah, hingga ia menghancurkannya. (HR Abu dawud, 5/402).
Dan kadang kala tidak disyariatkan memboikot sebagian pelaku pelanggaran besar, yang tingkat kesholehan pelakunya jauh dibawah orang-orang yang diboikot. Sebagai contoh Nabi menarik simpati Al Aqra’ bin Habis, ‘Uyainah bin Hishn, bahkan beliau menarik simpati sebagian orang munafiqin, semacam Abdullah bin Ubai, dan yang serupa dengannya. Semua ini sesuai dengan kemaslahatan dan mempertimbangkan ketentuan-ketentuan lain dalam masalah pemboikotan.
(6-4)
4. Yang berkaitan dengan waktu dan tempat terjadinya pelanggaran
Hendaknya dibedakan antara tempat dan waktu yang banyak terjadi pelanggaran dan kemungkaran, sehingga pelakunya memiliki kekuatan, dengan tempat dan waktu yang jarang terjadi pelanggaran, sehingga kekuatan pelakunya lemah.
Sehingga apabila kekuatan diwaktu dan tempat tersebut berada ditangan Ahli Sunnah, maka disyariatkan untukmenghajer (memboikot), tentunya dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan lainnya, disebabkan pelaku pelanggaran dalam keadaan lemah, sehingga ia akan menjadi jera dengan pemboikotan tersebut. Sebagaimana firmankan tentang kisah sahabat Ka’ab bin Malik dan kedua kawannya:
] حتى إذا ضاقت عليهم الأرض بما رحبت وضاقت عليهم أنفسهم وظنوا أن لا ملجأ من الله إلا إليه … [ سورة التوبة 118.
Artinya: “hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. (QS At Taubah 118).
Sebagaimana teguran dan pendidikan, berhasil dicapai melalui pemboikotan sahabat Umar bin Khotthab beserta seluruh ummat, terhadap Shobigh bin ‘Asal, sebagaimana telah diketahui bersama.
Adapun apabila kekuatan pada suatu waktu dan tempat berada ditangan orang-orang jahat, dan penjaja kebatilan, maka tidak disyari’atkan pemboikotan; -kecuali pada momen-momen tertentu- karena pemboikotan pada saat seperti ini tidak akan dapat merealisasikan tujuannya, berupa pendidikan, dan teguran, bahkan dimungkinkan orang-orang yang berpegang teguh dengan kebenaran akan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan.
(Tambahan 6-4).
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Oleh karena itu hendaknya dibedakan antara tempat-tempat yang banyak terjadi praktek-praktek bid’ah, sebagaimana halnya yang terjadi di kota Bashrah banyak orang-orang yang mengingkari taqdir (Qodariyah), di kota Khurasan banyak ahli nujum, dan di kota Kufah banyak orang-orang Syi’ah, dengan tempat-tempat yang tidak demikian halnya. Dan hendaknya dibedakan antara para pemimpin yang memiliki pengikut, dengan lainnya. Dan apabila telah diketahui tujuan syari’at, maka hendaknya ditempuh jalan tercepat untuk mencapai tujuan tersebut”. (Majmu’ Fatawa 28/206-207).
Kembali pada nasehat syeikh Ibrohim Ruhaili (6-5).
5. Yang berkaitan dengan masa pemboikotan.
Hendaknya masa pemboikotan disesuaikan dengan keadaan pelaku pelanggaran dan jenis pelanggaran, karena ada orang-orang yang sudah jera bila diboikot selama satu hari, dua hari , satu bulan atau dua bulan, dan ada orang-orang yang butuh waktu lebih lama. Dan apabila tujuan pemboikotan telah tercapai, maka harus dihentikan, karena kalu tidak, yang terjadi adalah rasa putus asa dan putus harapan. Sebaliknya, bila masa pemboikotan kurang dari yang selazimnya, maka tidak akan ada gunanya.
Tatkala Ibnu Qayyim menyebutkan faedah-faedah yang dapat disimpulkan dari kisah pemboikotan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . terhadap sahabat ka’ab bin Malik dan kedua kawannya, beliau berkata: “ Dalam kisah ini terdapat dalil bahwa pemboikotan seorang pemimpin, atau ulama’ atau pemuka masyarakat, terhadap orang yang melakukan suatu pelanggaran yang mengharuskan untuk dicela (diboikot). Hendaknya pemboikotan tersebut merupakan obat, yaitu dengan cara yang dapat merealisasikan perbaikan (penyembuhan), dan tidak berlebih, baik dalam jumlah atau metode, sehingga dapat membinasakan orang tersebut, karena tujuannya (pemboikotan) adalah untuk memberikan pendidikan, bukan membinasakan”. (Zad Al Ma’ad 3/20).
Nasehat ketujuh
(7-1)
Nasehat Ketujuh : Mengingkari pelaku pelanggaran, dan membantahnya, dalam rangka menunaikan kewajiban menasehati orang tersebut, dan menjaga masyarakat dari kesalahannya, adalah salah satu prinsip baku Ahlis Sunnah, bahkan hal ini termasuk macam jihad paling mulia. Akan tetapi, harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam syari’at, dan syarat-syarat yang telah ditetapkan, sehingga dengan cara ini, dapat dicapai tujuan syari’at dari pngingkaran dan bantahan tersebut. Diantara ketentuan dan syarat tersebut, ialah:
1. Hendaknya pengingkaran tersebut dilakukan dengan penuh rasa ikhlas, niat yang jujur lagi murni hanya karena ingin memperjuangkan kebenaran. Diantara konsekwensi keikhlasan dalam hal ini, ialah: Ia senang bila pelaku pelanggaran mendapatkan petunjuk, dan kembali kepada kebenaran, dan ia menempuh segala usaha yang dapat ia lakukan, agar hati pelaku pelanggaran tersebut dapat terbuka, bukan malah menjadikannya semakin jauh. Dan hendaknya ia berdoa secara khusus untuk orang tersebut, agar Allah memberi petunjuk kepadanya, apabila ia dari kalangan Ahli Sunnah, atau selain mereka. Sungguh Nabi dahulu mendoakan sebagian orang kafir, agar mendapat petunjuk, maka bagaimana halnya bila ia dari kalangan kaum muslimin yang bertauhid (tentu lebih pantas untuk didoakan).
(7-2)
2. Hendaknya bantahan terhadap orang tersebut dilakukan oleh seorang ulama’ yang benar-benar telah mendalam ilmunya, sehingga ia menguasai dengan detail, segala sudut pandang dalam permasalahan tersebut, yaitu, yang berkaitan dengan dalil-dalil syari’at, keterangan para ulama’ dalam masalah tersebut, dan sejauh mana tingkat penyelewengan pelanggar tersebut. Dan juga sumber munculnya syubhat pada orang itu, dan keterangan para ulama’ seputar cara mematahkan syubhat tersebut, serta mengambil pelajaran dari keterangan mereka dalam hal ini.
Hhendaknya orang yang membantah memiliki kriteria: dapat mengemukakan dalil-dalil yang kuat ketika mengemukakan kebenaran, dan mematahkan syubhat, ungkapan-ungkapan yang detail, agar tidak nampak, atau dipahami dari perkataannya suatu kesimpulan yang tidak sesuai dengan yang ia inginkan. Karena bila orang yang membantah tidak memiliki kriteria ini, niscaya yang terjadi adalah kerusakan besar.
(7-3)
3.Hendaknya tatkala membantah, diperhatikan perbedaan tingkat pelanggaran, kedudukan baik dari segi agama ataupun sosial yang ada pada orang-orang tersebut. Begitu juga motivasi pelanggaran, apakah karena kebodohan, atau hawa nafsu dan keinginan untuk berbuat bid’ah, atau ungkapannya yang kurang baik, atau salah mengucap, atau terpengaruh oleh seorang guru atau lingkungan masyarakatnya, atau karena memiliki takwil, atau tujuan-tujuan lain yang ada pada pelanggaran terhadap syari’at.
Barang siapa membantah pelaku pelanggaran, dengan tidak memperdulikan dan tidak memperhatikan terhadap perbedaan-perbedaan ini, niscaya ia akan terjerumus kedalam tindak ekstrim (berlebih-lebihan) atau sebaliknya (kelalaian), yang akan menjadikan perkataannya tidak atau kurang berguna.
(7-4)
4. Hendaknya tatkala membantah, senantiasa berusaha mewujudkan maslahat (tujuan) syari’at dari tindakan tersebut. Sehingga apabila tindakannya tersebut justru mendatangkan kerusakan yang lebih besar dibanding dengan kesalahan yang hendak dibantah, maka tidak disyari’atkan untuk membantah. Karena suatu kerusakan tidak dibenarkan untuk ditolak dengan kerusakan lebih besar.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak dibenarkan menolak kerusakan kecil dengan kerusakan besar, juga tidak dibenarkan mencegah kerugian ringan dengan melakukan kerugian yang lebih besar. Karena syari’at Islam (senantiasa) mengajarkan agar senantiasa merealisasikan kemaslahatan, dan menyempurnakannya, juga melenyapkan kerusakan dan menguranginya, sedapat mungkin. Singkat kata; bila tidak mungkin untuk disatukan antara dua kebaikan, maka syari’at islam (mengajarkan untuk) memilih yang terbaik. Begitu juga halnya dengan dua kejelekan, bila tidak dapat dihindarkan secara bersamaan, maka kejelekan terbesarlah yang dihindarkan”. (Al Masail Al Mardiniyyah 63-64).
(7-5)
5. Hendaknya bantahan, disesuaikan dengan tingkat tersebarnya kesalahan tersebut. Sehingga apabila suatu kesalahan hanya muncul di suatu negri, atau masyarakat, maka tidak layak bantahannya disebar luaskan ke negri atau masyarakat yang belum mendengar kesalahan tersebut, baik melalui penerbitan kitab, atau kaset, atau sarana-sarana lainnya. Karena menyebar luas bantahan, berarti secara tidak langsung menyebar luaskan pula kesalahan tersebut. Sehingga bisa saja ada orang yang membaca atau mendengarkan bantahan, akan tetapi syubhat-syubhat (kesalahan itu) masih membayangi hati dan pikirannya, dan tidak merasa puas dengan bantahan itu.
Sehingga menghindarkan masyarakat dari mendengarkan kebatilan dan kesalahan, lebih baik daripada mereka mendengarkannya, dan membantahnya kemudian. Sungguh ulama’ terdahulu, senantiasa mempertimbangkan hal ini dalam setiap bantahan mereka. Banyak sekali kita dapatkan kitab-kitab mereka yang berisikan bantahan, mereka hanya menyebutkan dalil-dalil yang menjelaskan kebenaran, yang merupakan kebalikan dari kesalahan tersebut, tanpa menyebutkan kesalahan itu. Tentu ini membuktikan akan tingkat pemahaman mereka, yang belum dicapai oleh sebagian orang zaman sekarang.
Pembahasan yang telah diutarakan, berkaitan dengan menebarkan bantahan di negri yang belum dijangkiti kesalahan, sama halnya pembahasan tentang menebarkan bantahan di tengah-tengah sekelompok orang yang tidak mengetahui kesalahan itu, walaupun ia tinggal di negri yang sama. Sehingga tidak seyogyanya menebarkan bantahan, baik melalui buku atau kaset, ditengah-tengah masyarakat yang tidak mengetahui atau mendengar adanya kesalahan itu.
Betapa banyak orang awam yang terfitnah, dan terjatuh ke kubang keraguan tentang dasar-dasar agama, akibat mereka membaca buku-buku bantahan yang tidak dapat dipahami oleh akal pikiran mereka.
(7-5 tambahan)
Maka hendaknya orang-orang yang menebarkan buku-buku bantahan ini, takut kepada Allah, dan berhati-hati, agar tidak menjadi penyebab terfitnahnya masyarakat, dalam urusan agama mereka.
Dan diantara yang paling mengherankan saya ialah; sebagian pelajar, membagi-bagikan sebagian buku bantahan, kepada sebagian orang yang baru masuk islam, orang-orang yang keislamannya baru berjalan beberapa hari atau bulan, kemudian mereka mengarahkannya agar membaca buku tersebut. Alangkah mengherankan sekali tindakan
Maka hendaknya orang-orang yang menebarkan buku-buku bantahan ini, takut kepada Allah, dan berhati-hati, agar tidak menjadi penyebab terfitnahnya masyarakat, dalam urusan agama mereka.
Dan diantara yang paling mengherankan saya ialah; sebagian pelajar, membagi-bagikan sebagian buku bantahan, kepada sebagian orang yang baru masuk islam, orang-orang yang keislamannya baru berjalan beberapa hari atau bulan, kemudian mereka mengarahkannya agar membaca buku tersebut. Alangkah mengherankan sekali tindakan mereka.
(7-6)
6. Hukum membantah pelaku kesalahan, ialah fardhu kifayah, sehingga bila telah ada seorang ulama’ yang melaksanakannya, dan dengan bantahan dan peringatan yang ia lakukan, telah terealisasi tujuan syari’at, maka tanggung jawab (kewajiban) para ulama’ telah gugur. Hal ini sebagaimana telah ditetapkan oleh para ulama’ dalam permasalahan hukum fardhu kifayah.
Adalah termasuk kesalahan, tatkala ada seorang ulama’ membantah seorang pelaku kesalahan, atau fatwa yang memperingatkan dari kesalahan seseorang, banyak pelajar menuntut ulama’ lainnya, juga para pelajar lainnya agar menyatakan sikap mereka terhadap ulama’ pembantah tersebut dan pelaku kesalahan yang dibantah, atau fatwa itu. Bahkan tidak jarang para pelajar pemula, bahkan juga masyarakat awam, untuk menyatakan sikapnya terhadap ulama’ pembantah dan pelaku kesalahan tersebut.
Terlebih dari itu semua, mereka kemudian menjadikan permasalahan ini sebagai asas wala’ dan bara’ (loyalitas dan permusuhan), dan akhirnya yang terjadi saling menghajer (memboikot) hanya karena perkara ini.
Bahkan kadang kala sebagian pelajar memboikot sebagian gurunya (syeikhnya), yang selama bertahun-tahun ia menimba ilmu darinya, hanya dikarenakan permasalahan ini pula. Dan kadang kala pula, fitnah ini menyusup kedalam keluarga, sehingga engkau dapatkan seseorang memboikot saudaranya, seorang anak bersikap tidak sopan terhadap orang tuanya, bahkan kadang kala, seorang istri diceraikan dan anak-anak menjadi terpisah-pisah, hanya karena permasalahan ini.
Dan bila engkau melihat fenomena yang menimpa masyarakat, niscaya engkau akan mendapatkan mereka terpecah menjadi dua kelompok atau bahkan lebih. Setiap kelompok membidikkan berbagai tuduhan, dan akhirnya saling memboikot. Semua ini terjadi dikalangan orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada As Sunnah (Ahlis Sunnah), yang sebelumnya setiap kelompok tidak dapat mencela akidah dan manhaj kelompok lain, sebelum terjadinya perbedaan ini.
Lanjut......
(7-6 tambahan).
Fenomena ini kembalinya kepada kebodohan yang sangat tentang As Sunnah (Manhaj Ahlis Sunnah), kaidah-kaidah mengingkari (kemungkaran) menurut Ahlis Sunnah, atau kepada hawa nafsu (yang diturutkan), kita memohon kepada Allah perlindungan dan keselamatan.
Nasehat ke-8 menyusul....insya Allah
-------------------
(8-1).
Nasehat Kedelapan : Ulama’ Ahlis Sunnah yang telah terkenal akan keselamatan akidah dan jasanya dalam memperhuangkan As Sunnah (Manhaj Ahlis Sunnah), hendaknya senantiasa dijaga kehormatannya, diperhatikan kedudukannya, tidak sepatutnya dicela, atau diklaim sebagai pelaku bid’ah, atau dituduh mengikuti hawa nafsu, atau fanatis, hanya karena memiliki kesalahan dalam berijtihad.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak diragukan lagi, bahwa kesalahan seseorang dalam permasalahan yang detail, akan diampuni, walaupun kesalahan tersebut tergolong dalam permasalahan-permasalahan ilmiyyah (akidah). Kalau kita tidak bersikap demikian, niscaya kebanyakan ulama’ akan binasa (tidak dihargai jasanya). Apabila Allah mengampuni orang yang tidak mengetahui bahwa khomer adalah haram, dikarenakan ia hidup disuatu masyarakat bodoh, padahal ia tidak pernah menuntut ilmu, maka seorang ulama’ yang bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, sesuai dengan yang ia peroleh dimasa dan tempat ia berada, apabila ia benar-benar bertujuan mengikuti (ajaran) Rasulullah sedapat mungkin, tentua ia lebih berhak untuk diterima Allah kebaikannya dan mendapatkan pahala atas usaha dan jasanya, dan diampunkan kesalahannya. hal ini sebagai realisasi dari firman-Nya:
] ربنا لا تؤاخذنا إن نسينا أو أخطأنا[. البقرة الآية 286
“Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau menyiksa kami, jika kami lupa atau bersalah”. (Majmu’ fatawa 20/165).
(8-2)
Pada kesempatan lain beliau juga berkata: “Ini adalah keyakinan ulama’ salaf (terdahulu), dan para imam ahli fatwa, seperti Abu Hanifah, As Syafi’i, Ats Tsaury, Dawud bin Ali, dan lainnya. Mereka tidak menganggap berdosa orang yang salah dalam berijtihad, baik dalam permasalahan-permasalahan prinsip (ushul), atau cabang (furu’). Hal ini sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Hazem dan lainnya, dan mereka berkata: inilah pendapat yang dikenal dari kalangan para sahabat, pengikut mereka dalam kebaikan (tabi’in), dan para imam agama. mereka tidaklah mengkafirkan, juga tidak menfasikkan, juga tidak menganggap berdosa, seorang ahli ijtihad yang salah (dalam berijtihad), tidak dalam permasalahan amaliyah, juga tidak dalam masalah ilmiyah (akidah). Mereka beralasan, bahwa membedakan antara permasalahan-permasalahan furu’ (cabang) dengan permasalahan-permasalahan ushul (prinsip) hanyalah pendapat ahlil bid’ah, dari kalangan orang-orang penganut ilmu kalam (filsafat), mu’tazilah, jahmiyyah, dan pengikut mereka”. (Majmu’ fatawa 19/207).
Kita menegaskan hal ini, bukan berarti kita tinggal diam, tidak menasehati ulama’ tersebut bila ia melakukan kesalahan, bahkan menasehatinya adalah sebuah kewajiban setiap orang yang mengetahui kesalahannya, dan sikap ini termasuk bakti dan perilaku baik kepadanya. Akan tetapi sudah barang tentu nasehat harus dilakukan dengan cara ramah, lembut, metode yang sesuai dengan kedudukannya dalam keilmuan dan perjuangannya.
Kemudian bila ia bertaubat, meninggalkan kesalahannya, dan meralat kesalahannya, maka ia diterima, dan tidak dibenarkan lagi untuk membicarakannya, tidak juga mencelanya karena kesalahan tersebut, juga tidak dibenarkan kita meragukan kesungguhannya dalam bertaubat.
(8-3).
Namun bila ia tidak bertaubat, dikarenakan masih memiliki alasan tertentu, atau syubhat yang menghalanginya untuk mengetahui kebenaran, maka hendaknya dilihat; apabila kesalahan tersebut hanya terbatas pada dirinya sendiri, maka tanggung jawab kita telah selesai dengan menasehatinya, akan tetapi jika kesalahan tersebut telah menyebar, maka hendaknya masyarakat diperingatkan dari kesalahan itu, dengan tetap menjaga kehormatan ulama’ tersebut.
Sepantasnya pada kesempatan ini, kita senantiasa mengingat kewajiban menjaga dua prinsip besar: Pertama: Kewajiban bersikap tulus demi kebenaran, Kedua: Kewajiban menjaga kehormatan ulama’.
Kedua prinsip ini menurut Ahlis Sunnah tidaklah saling bertentangan, dan tidak dibenarkan untuk membesar-besarkan salah satunya, walau harus dengan mengabaikan yang lainnya.
Cinta kepada ulama’ dan menjaga kedudukan mereka, tidak berarti tinggal diam melihat kesalahan mereka dan tidak memperingatkannya. Bersikap tulus demi kebenaran, dan mengingatkan kesalahan seorang ulama’, tidak berarti mencela dan memakinya, akan tetapi kedua prinsip ini dapat digabungkan oleh setiap orang yang mendapatkan bimbingan dari Allah.
Barang siapa yang mengetahui metode ulama’ dalam mengingatkan kesalahan sebagian mereka, tanpa disertai celaan, niscaya ia akan mengetahui hakikat permasalahan ini, dan bukti-bukti nyata perkataan ini banyak sekali didapatkan dalam perkataan ulama’.
Ke-9 nyusul.
-----------------------
(9-1)
Nasehat Kesembilan: Ahlul Bid’ah yang menyelisihi Akidah Ahlis Sunnah, dan manhaj (metode) mereka dalam berdalil, mengajar, mendidik, dan berdakwah ke jalan Allah, serta mengikuti hawa nafsu. Mereka juga tidak menjadikan ulama’ Ahlis Sunnah sebagai suri tauladan, bahkan sebaliknya, malah mencela, dan mencemooh mereka, bahkan menganggap diri mereka lebih utama dibanding para ulama’ Ahlis Sunnah. Mereka ialah mubtadi’ah (ahli bid’ah) lagi sesat, sepantasnya untuk diperangi dengan cara menjelaskan kepada seluruh masyarakat, keburukan jalan mereka, penyelewengan mereka dari As Sunnah. Juga dengan membantah mereka, dan memperlakukan mereka dalam segala kondisi dengan perlakuan terhadap Ahlul Bid’ah.
Akan tetapi, hal ini tidak menghalangi kita untuk mendakwahi mereka kepada kebenaran, dan bila dianggap akan menyebabkan mereka kembali kepada As Sunnah, maka diadakan diskusi antara ulama’ dengan mereka, yaitu diskusi dengan cara-cara yang baik.
Hendaknya kita selalu waspada, agar tidak mencampur-adukkan antara sikap yang seharusnya diambil dalam menghadapi Ulama’ Ahlis Sunnah, -walau mereka memiliki kesalahan- yaitu kewajiban menjaga kedudukan dan kehormatan mereka, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, dengan sikap yang seharusnya diambil dalam menghadapi ulama’ Ahlil Bid’ah, yang seyigyanya diboikot, dan diperingatkan dari mereka agar dijauhi. Yang demikian ini, dikarenakan kesalahan ulama’ Ahlis Sunnah, merupakan hasil dari usaha mereka dalam mencapai kebenaran, dengan menempuh metode-metode yang dibenarkan dalam berdalil. Sedangkan kesalahan ulama’ Ahlil Bid’ah, ialah hasil dari hawa nafsu, penyelewengan, dan tidak menempuh metode-metode yang dibenarkan dalam berdalil, sehingga sangat jauhlah perbedaan antara keduanya.
(9-2).
Permasalahan ini, merupakan titik perbedaan antara Ahlis Sunnah dan Ahlil Bid’ah. Dan dengan ini pula seorang yag cerdas dan jeli dapat memahami, sebab kenapa para ulama’ Ahlis Sunnah yang memiliki kesamaan pendapat dengan sebagian Ahlil bid’ah dalam beberapa keyakinan mereka, tidak diklaim sebagai ahlil bid’ah.
----------------------------
Nasehat penutup.(10-1).
Nasehat Kesepuluh : Saya menutup nasehat ini dengan menyebutkan beberapa anjuran ringan dan faedah-faedah berharga, yang saya rasa bila diamalkan, akan mendatangkan pahala besar dan kedudukan tinggi disisi Allah. Saya menyeru saudara-saudaraku untuk mengamalkannya, dan senantiasa memperhatikannya, terlebih-lebih pada masa ini, masa yang banyak tersebar fitnah, hawa nafsu diumbar, kebodohan merajalela, kecuali orang-orang yang mendapatkan rahmat dan petunjuk Allah.
1. Wahai pengikut Sunnah (ahlussunnah), ketahuilah: jika anda benar-benar pengikut Sunnah (ahlussunnah), sekali-kali tidak akan merugikanmu, tipu daya yang ditujukan kepadamu oleh seluruh penghuni langit dan bumi, dan anda tidak akan dapat terusir dari (jalan) As Sunnah, hanya karena tuduhan mereka kepada anda, sebagai pelaku bid’ah. Sebaliknya, jika anda adalah pelaku kesesatan dan peyelewengan –dan saya memohonkan perlindungan kepada Allah untuk anda, agar anda tidak menjadi demikian- niscaya tidak berguna bagimu disisi Allah, pujian seluruh manusia, dan penisbatan mereka bahwa anda adalah pengikut Sunnah, serta sanjungan mereka kepada anda dengan berbagai julukan palsu, -bila realitanya Allah telah mengetahui tentang hakikat diri anda sebagaimana yang anda ketahui sendiri- oleh karena itu hendaknya anda tidak berdusta pada diri sendiri. Hendaknya cukup sebagai peringatan bagimu pada situasi seperti ini, wasiat Nabi kepada Ibnu Abbas, dan hadits tiga orang yang akan pertama kali dimasukkan kedalam api neraka, semoga Allah melindungi saya dan anda darinya.
Sambung.....
(10-2) lanjutan nasehat penutup.
2. Ketahuilah bahwasannya ulama’ Ahlis Sunnah yang mendalam (kokoh) ilmunya, dapat mencapai kedudukan tinggi dan menjadi pemimpin (imam) dalam keagamaan –selain karena taufiq (bimbingan) Allah kepada mereka- dikarenakan kesabaran dan keyakinan mereka. Allah Ta’ala berfirman:
] وجعلنا منهم أئمة يهدون بأمرنا لما صبروا وكانوا بآياتنا يوقنون[
“Dan Kami jadikan dari mereka imam-imam (para pemimpin), yang memberi petunjuk dengan urusan Kami, tatkala mereka bersabar, dan mereka yakin dengan ayat-ayat Kami “.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dengan kesabaran dan keyakinan, kepemimpinan dalam urusan agama akan dicapai”.
Dan yang dimaksud dari keyakinan ialah; kekuatan dalam ilmu, yang dilandasi oleh dalil yang benar, pemahaman lurus. Bukan (sebagai keyakinan) apa yang dianut oleh sebagian pelajar, berupa sikap pasrah dalam berilmu dengan taklid kepada seorang ulama’, atau pelajar lain, atau dakwaan bahwa kebenaran akan selalu bersama ulama’ tersebut, dan tidak ada yang memahami As Sunnah dengan baik, kecuali dia.
Dan yang dimaksud dari kesabaran ialah; kegigihan dan keuletan dalam menuntut ilmu, dengan disertai pengamalan, dan mengisi seluruh waktunya, siang dan malam dengan hal tersebut. Berbeda halnya dengan orang-orang yang lemah semangat, dan lebih senang dengan santai, pasrah kepada gejolak hawa nafsu, sehingga ia tidak memiliki semangat untuk belajar, juga tidak untuk beramal.
(10-3)...
3.Ketahuilah bahwasannya mengklaim orang lain dengan kafir, mubtadi’, dan fasik, merupakan hak Allah, oleh karenanya jangan sekali-kali anda mengkalaim dengan kafir, atau mubtadi’ atau fasik orang yang tidak layak diklaim demikian, walaupun ia telah mengklaim anda dengan kafir, atau mubtadi’ atau fasik. Karena sesungguhnya Ahlis Sunnah tidak membenarkan untuk membalas kezaliman pelaku kesalahan dengan kezaliman. Akan tetapi metode membalas kezaliman dengan kezaliman, merupakan perangai Ahlil Bid’ah.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Orang-orang Khowarij selalu mengkafirkan Ahlis Sunnah wal Jama’ah, demikian juga Mu’tazilah, mereka mengkafirkan setiap orang yang bertentangan dengannya, demikian pula halnya Rafidhoh (Syi’ah). Kalaupun mereka tidak mengkafirkan, tapi mereka mengklaim dengan fasik …..Sedangkan Ahlis Sunnah, senantiasa mengikuti kebenaran yang datang dari Tuhan mereka, kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah e. Dan mereka tidaklah mengkafirkan orang yang menyelisihi mereka dalam kebenaran itu. Akan tetapi mereka adalah orang yang paling tahu tentang kebenaran, dan paling sayang terhadap manusia”. (Minhajus Sunnah 5/158).
(10-4).
4. Janganlah sekali-kali anda memboikot saudaramu yang telah memboikotmu, bila pemboikotan terhadapnya tidak dibenarkan secara syari’at. Akan tetapi hendaknya anda selalu memulai mengucapkan salam kepadanya, berusaha menarik simpatinya. Berusahalah untuk menghapuskan syubhat yang menyebabkannya memboikot anda. Bila ia tetap berpaling darimu, maka janganlah anda berkeyakinan dalam hati anda bahwa anda dibenarkan untuk memboikotnya. Dan janganlah anda menyibukkan diri anda dengan terus berusaha mendekatinya, karena anda telah terbebas dari dosa memutus hubungan, sedangkan dia akan bertanggung jawab atas tindakannya itu.
(10-5)
5. Celaan orang lain terhadap anda, bisa saja dengan cara menjelek-jelekkan pribadi anda, dan bisa dengan cara menisbatkan -dengan dusta- kepada anda suatu perkataan yang bertentangan dengan keyakinan Ahlis Sunnah. Maka apabila yang mereka lakukan adalah menjelek-jelekkan pribadi anda, misalnya dengan mengatakan: Ia orang sesat, bodoh, tidak paham, maka janganlah sekali-kali anda membela diri. Karena bila anda membela diri, niscaya anda akan terjerumus kedalam tazkiatun nafsi (memuji diri sendiri), dan sikap seperti ini merupakan kebinasaan yang nyata.
Ada seseorang yang menjelek-jelekkan seorang Imam dengan suatu ucapan, maka Imam itu hanya menjawab: “(Tuduhan) Anda tidak terlalu jauh”. Dahulu Ahlil Bid’ah senantiasa mensifati pribadi ulama’ Ahlis Sunnah dengan berbagai kedustaan, akan tetapi mereka tidak pernah memperdulikannya, Yang mereka lakukan hanyalah membantah kesalahan mereka dalam urusan agama, dan menasehati masyarakat umum. Oleh karena itu hendaknya kita menjadikan mereka suri tauladan dalam hal ini.
Adapun bila ia menisbatkan suatu perkataan sesat, misalnya dengan mengatakan: Si fulan berkata demikian, demikian, dan menisbatkan kepadamu suatu perkataan yang tidak pernah anda ucapkan, maka anda cukup membantah penisbatan tersebut, agar pada kemudian hari tidak ada yang menisbatkan perkataan tersebut kepada anda. Dan para ulama’ senantiasa menjelaskan kepada masyarakat tentang perkataan-perkataan yang tidak pernah mereka ucapkan, yang dinisbatkan kepada mereka. Dan sikap ini sama sekali bukan termasuk kedalam sikap memuji diri sendiri, bahkan merupakan nasehat kepada masyarakat.
Sehingga sangat jelas perbedaan antara contoh ini dengan contoh sebelumnya. Oleh karena itu hendaknya anda berpegang teguh dengan ajaran ulama’ salaf dalam hal semacam ini. Dan janganlah anda menyerupai sebagian orang bodoh, yang bila dituduh dengan suatu tuduhan, ia langsung menebarkan keseluruh penjuru dunia, berbagai pujian, dan sanjungan terhadap dirinya.
(10-6) terakhir.
6. Ketahuilah bahwa setiap manusia akan menjadi semakin besar (kedudukannya) dalam bidang amalannya masing-masing, sehingga jika anda berpegang teguh dengan As Sunnah, niscaya kedudukan anda semakin hari, akan semakin besar, dan tidak akan lama lagi, anda akan menjadi pemimpin dalam (pengamalan) As Sunnah, Allah Ta’ala berfirman:
] وجعلنا منهم أئمة يهدون بأمرنا لما صبروا وكانوا بآياتنا يوقنون[ السجدة 24
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar.Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (Qs As Sajdah 24).
Dan sebaliknya, jika anda mengamalkan bid’ah, niscaya kedudukan anda semakin hari akan semakin besar, dan tidak akan lama lagi, anda akan menjadi pemimpin dalam (pengamalan) bid’ah. Allah Ta’ala berfirman :
] قل من كان في الضلالة فليمدد له الرحمن مدا[ مريم 75
“Katakanlah:"Barangsiapa yang berada di dalam kesesatan, maka biarlah Rabbnya yang Maha Pemurah memperpanjang tempo baginya”. (QS maryam 75).
Dan setelah Allah mensifati Fir’aun beserta kaumnya dengan kesombongan, Dia berfirman:
] وجعلناهم أئمة يدعون إلى النار[ القصص 42
“Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka”. (QS Al Qhashash 41).
Maka silahkan anda memilih untuk diri anda, suatu amalan yang esok anda senang bila menjadi pemimpin dalamnya.
Inilah dan hanya Allah Ta’ala-lah yang lebih tahu, dan semoga Allah senantiasa melimpahkan sholawat, salam dan keberkahan atas hamba dan rasul-Nya Muhammad …
DR. Ibrohim bin Amir ar-Ruhaili
Ulama pengajar Aqidah di Masjid Nabawi Madinah.
Semoga nasehat2 beliau bermanfaat bagi kita semua.
(KHolid Syamhudi).
10 Nasehat Untuk pemuda Ahlus Sunnah yg disampaikan Syeikh DR. Ibrohim bin 'amir ar-Ruhaili (pengajar aqidah di masjid Nabawi). Semoga bermanfaat dan tidak mengganggu.
-----------------------
Nasehat part 1.
Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam. Sholawat dan salam, semoga senantiasa dilimpahkan kepada nabi kita Nabi Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya.
Amma ba’du:
Berikut ini adalah untaian nasehat yang ditujukan kepada para pemuda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, yang harus ditulis dalam rangka andil dalam menasehati kaum muslimin, dan mendamaikan antar Ahlis Sunnah, sebagaimana dianjurkan dalam banyak dalil-dalil syari'at.
Yang mendorong saya menulis nasehat ini, adalah fenomena yang dialami banyak pemuda salafiyyin, di berbagai negeri islam, bahkan di negeri-negeri kafir yang dihuni oleh minoritas kaum muslimin. fenomena ini berupa perpecahan besar yang disebabkan perbedaan pendapat dalam beberapa masalah ilmiyyah, dan sikap-sikap kongkrit dalam menghadapi sebagian orang yang menyelisihi (manhaj ahlusunnah). Juga Fenomena yang muncul dari permasalahan tersebut berupa pemutusan hubungan dan pemboikotan (hajr). Bahkan sampai tindakan berlebihan dan melampaui batas antar ahlu Sunnah hingga fitnahnya membesar dan bahayanya tampak mengerikan. Hal ini telah menghambat laju perjuangan dakwah menuju As Sunnah, dan bahkan menghalangi sebagian orang untuk mengikutinya. Padahal sebelumnya masyarakat umum diberbagai daerah dan negeri telah menerimanya.
Saya akan ringkas nasehat ini dalam beberapa poin berikut, dengan mengharap kepada Allah, untuk melimpahkan kepadaku keikhlasan niat, dan kebenaran dalam ucapan, serta memberikan manfaat kepada setiap orang muslim yang membacanya.
(1-1).
Nasehat Pertama : Termasuk salah satu prinsip yang telah baku dalam agama Islam, bahwa setiap muslim hendaknya berusaha dengan sungguh-sungguh membenahi diri dan berupaya merealisasikan keselamatan serta menjauhkan semua yang akan menyebabkan kebinasaan terhadap dirinya, sebelum menyibukkan diri dengan (kekurangan) orang lain. Sebagaimana firman Allah Ta'ala yg Artinya : Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amal saleh, dan nasehat- menasehati supaya menetapi kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al Asher 1-3).
Allah memberitakan tentang orang-orang yang selamat dari kerugian (tidak merugi) adalah orang-orang yang terwujud pada dirinya perangai-perangai (sifat) tersebut. Allah menyebutkan, bahwa mereka telah merealisasikan pada diri mereka keimanan, dan amal sholeh terlebih dahulu, sebelum mereka mendakwahi orang lain. Dakwah dengan nasehat-menasehati supaya menetapi kebenaran, dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran. Inilah dasar penetapan masalah ini.
Demikian juga Allah ta'ala telah mencela Bani Isra’il, dikarenakan mereka menyelisihi prinsip ini, dalam firmanNya yang artinya :
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Alkitab (Taurat) Maka tidakkah kamu berpikir? (QS. Al Baqarah :44)
Oleh karena itu, hendaklah setiap pemuda memperhatikan pembenahan dirinya sendiri, sebelum berusaha membenahi orang lain. Tatkala dirinya telah mencapai istiqomah dalam hal itu dan menyatukan antara penerapan ajaran agama pada dirinya dengan perjuangan mendakwahi orang lain, maka ia benar-benar berada diatas petunjuk salaf dan Allah akan melimpahkan kemanfaatan dari (dakwah) nya.
(1-2)
Mereka menjadi da’i kepada As Sunnah dengan ucapan dan perilakunya. Dan sungguh demi Allah, inilah kedudukan tertinggi yang bila seseorang berhasil mencapainya, maka ia termasuk hamba Allah yang paling baik kedudukannya pada hari kiamat.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata:"Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri" (QS. Fusshilat:33)
Nasehat kedua besok pagi insya Allah......
10 Nasehat lanjutan (2-1).
Nasehat Kedua : Hendaknya diketahui, bahwa yang benar-benar dikatakan sebagai Ahlis Sunnah adalah mereka yang menjalankan dengan sempurna (ajaran) agama islam, baik secara idiologi (I'tikad), ataupun perilaku (Suluk).
Satu kesalahpahaman, bila yang dianggap sebagai Ahlis Sunnah atau seorang Salafy, adalah orang yang merealisasikan Aqidah Ahlis Sunnah semata, tanpa memperhatikan sisi perilaku, adab-adab islam dan menunaikan hak-hak antar sesama muslim.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah pada akhir kitab “Al Aqidah Al Wasithiyyah” setelah menyampaikan pokok ajaran Ahlu Sunnah dalam I'tikad berkata: “Kemudian mereka (Ahlis Sunnah wal Jama’ah), selain merealisasikan prinsip-prinsip ini: Saling memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari yang mungkar sesuai tuntutan syari’at. Mereka memandang penunaian ibadah haji, jihad, sholat jum’at, sholat ‘id, bersama para pemimpin (penguasa), baik pemimpin yang baik (adil) ataupun yang jahat. Mereka senantiasa menegakkan sholat berjama’ah dan menjalankan tanggung jawab memberikan nasehat kepada ummat.
Mereka juga meyakini makna sabda Nabi:
الْمُؤْمِنُ لِلْمؤمِنِ كَالْبُنْيَانِ الْمَرْصُوْصِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“(permisalan peran) Seorang mukmin terhadap seorang mukmin lain, bagaikan sebuah bangunan yang kokoh, yang sebagiannya menopang (menguatkan) sebagian lainnya”. Lalu Rasululloh menjalin jari-jemarinya dan sabda Rasululloh :
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالْحُمَّىوَا لسَّهَرِ
Permisalan kaum mukminin dalam kecintaan, lemah lembut dan kasih sayang seperti satu tubuh, apabila satu anggota tubuh sakit maka seluruh tubuhnya merasakan demam dan tidak bisa tidur. (Muttafaqun 'Alaihi).
(2-2).
Mereka memerintahkan untuk sabar, tatkala ditimpa cobaan (kesusahan) dan bersyukur tatkala mendapatkan kelapangan serta ridho dengan perjalanan takdir yang pahit. Mereka menyeru kepada akhlaq-akhlaq mulia, dan amal-amal terpuji dan meyakini makna sabda Nabi :
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang paling baik akhlaqnya”.
Mereka senantiasa menganjurkan untuk menyambung (hubungan dengan) orang yang memutuskan hubungan denganmu, dan memberi orang yang enggan memberimu, memaafkan orang yang menzalimimu. Mereka juga saling memerintahkan untuk senantiasa berbakti kepada kedua orang tua, juga untuk bersilaturahmi dan berbuat baik kepada tetangga.
Mereka juga melarang perangai berbangga diri, sombong, melampaui batas, melanggar hak orang lain, baik dengan alasan yang dibenarkan atau tidak.
Mereka senantiasa memerintahkan agar komitmen dan menjaga akhlaq terpuji dan mencegah dari akhlaq tercela.
Senua perkataan dan perbuatan mereka dari hal-hal tersebut diatas, atau lainnya, mereka senantiasa mengikuti Al Kitab (Al Qur’an) dan As Sunnah, dan jalan hidup mereka adalah agama islam yang dengannya Allah mengutus Nabi Muhammad.
Nasehat ketiga
(3-1).
Nasehat Ketiga : Diantara tujuan agung yang dianjurkan agama islam (untuk dicapai), ialah mengajak manusia untuk menganut agama ini, sebagaimana Nabi sampaikan kepada sahabat Ali ketika mengutusnya ke Khaibar (yaitu pada saat perang Khaibar):
(لأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ) أخرجه الشيخان، البخاري، برقم: (4210)، ومسلم برقم: (2406).
“Seandainya Allah memberi petunjuk denganmu seseorang saja, itu lebih baik bagimu dibanding (memiliki) unta merah”.(HR Bukhory no:4210, dan Muslim 2406).
Oleh sebab itu, orang-orang yang telah di karuniai mendapatkan hidayah (petunjuk) kepada (mengamalkan) As Sunnah, hendaknya bersungguh-sungguh mendakwahi orang yang masih tersesat dari As Sunnah, atau kurang perhatian dengannya. Mendakwahi mereka agar benar-benar merealisasikan As Sunnah. Hendaknya mereka menempuh segala daya dan upaya yang dapat ia lakukan, dalam menuntun manusia dan mendekatkan pintu hati mereka untuk menerima kebenaran.
Hal itu dengan cara mendakwahi mereka dengan lemah lembut, sebagaimana firman Allah tatkala berbincang-bincang kepada Nabi Musa dan Harun :
Artinya: “Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah malampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut". (QS. Thaha: 43-44)
Juga dengan cara memanggilnya dengan julukan-julukan yang sesuai dengan kedudukannya. Sebagaimana dahulu Nabi ketika menulis surat kepada Hiraqlius, dengan bersabda:
إِلَى هِرَقْلَ عَظِيْمِ الرُّوْمِ
“kepada Hiraql, Pemimpin Romawi”.
Beliau juga memberikan kuniyyah kepada Abdillah bin Ubai bin Salul dengan “Abil Habbab”.
Demikian juga dengan bersabar dalam menghadapi kekerasan sikap orang yang didakwahi, dan membalasnya dengan perilaku baik, dan janganlah tergesa-gesa menuntut mereka untuk segera menerima kebenaran?
(3-2)
Allah berfirman :
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul (ulul ‘Azmi) telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka”.
⌣̊┈̥-̶̯͡♈̷̴┈̥-̶̯͡⌣̊
Nasehat keempat
(4-1)
Nasehat Keempat : Hendaknya kita semua (Tholabatul Ilmi), terutama para da’i, dapat membedakan antara Al Mudarah dan Al Mudahanah. Karena AL Mudarah adalah suatu hal yang dianjurkan, yaitu: sikap lemah lembut dalam pergaulan, sebagaimana disebutkan dalam kitab “Lisanul ‘Arab”: “Bersikap Mudarah terhadap orang lain adalah dengan beramah-tamah kepada mereka, berhubungan dengan cara yang baik, dan bersabar menghadapi gangguan mereka, agar mereka tidak menjauh darimu”.() Sedangkan Al Mudahanah (menjilat) adalah sikap tercela, yaitu sikap (mengorbankan) agama, Allah berfirman :
] ودوا لو تدهن فيدهنون [ القلم 9
Artinya : Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu). (QS. Al Qolam :9).
Al Hasan Al Bashry menafsirkan makna ayat ini dengan berkata: “ Mereka menginginkan agar engkau berpura-pura dihadapan mereka, sehingga mereka juga akan berpura-pura pula dihadapanmu”. (Tafsir AL baghowy 4/377).
Dengan demikian, orang yang bersikap mudarah akan berlemah lembut dalam pergaulan, tanpa meninggalkan sedikitpun dari prinsip agamanya, sedangkan orang yang bersikap mudahin, ia akan berusaha menarik simpati orang lain dengan cara meninggalkan sebagian prinsip agamanya.
Sungguh dahulu Nabi , merupakan figur paling baik akhlaqnya, dan paling lemah lembut terhadap umatnya, dan ini sebagai perwujudan sisi lemah lembut, dan ramah tamah dari perangai beliau. Di sisi lain, beliau adalah orang paling kuat dalam (mengemban) agama Allah, sehingga beliau tidak akan meninggalkan prinsip agama, barang satupun, walau dihadapan siapapun, dan ini adalah perwujudan sisi keteguhan hati beliau dalam mengemban (prinsip-prinsip) agama. Dan sisi perangai beliau ini sangat bertentangan dengan sikap mudahanah (menjilat).
(4-2 )
Hendaknya para pelajar, memperhatikan perbedaan antara kedua perangai ini, karena sebagian orang beranggapan, bahwa bersikap ramah-tamah kepada orang lain, dan berlemah lembut, sebagai tanda lemah dan luluh dalam (mengemban perintah) agama. Disaat yang lain, ada yang beranggapan bahwa: sikap membiarkan orang lain dalam kebatilan, dan berdiam diri tatkala melihat kesalahan, adalah bagian dari sikap ramah-tamah (Ar rifqu). Sudah barang tentu kedua kelompok (anggapan) ini adalah, salah, dan tersesat dari kebenaran. Hendaknya hal ini benar-benar diperhatikan dengan baik, karena kesalah pahaman pada permasalahan ini, sangat berbahaya, dan tiada yang dapat terlindung darinya, kecuali orang-orang yang mendapatkan taufiq (bimbingan) dan petunjuk dari Allah.
Nasehat kelima (5-1)
Nasehat Kelima : Seorang juru dakwah, dalam mendakwahi orang, memiliki dua metode yang diajarkan dalam syari’at, sebagaimana yang disebutkan dalam banyak dalil, yaitu: metode menarik simpati dan targhib (menganjurkan), dan metode hajer (memboikot/menjauhi) dan mengancam. Sehingga salah bila seseorang bersikap monoton (hanya menerapkan satu metode) kepada setiap orang.
Akan tetapi hendaknya ditempuh metode yang paling berguna dan sesuai dengan masing-masing pelanggar (orang yang menyeleweng), sehingga lebih besar harapan untuk ia dapat menerima kebenaran, dan kembali kepada jalan yang lurus. Apabila dengan metode menarik simpati-lah yang lebih bermanfaat, dan lebih besar harapannya bila diterapkan kepada seorang pelanggar, agar ia menjadi baik, maka metode inilah yang disyari’atkan (dibenarkan) dalam menghadapi orang tersebut. Begitu juga sebaliknya, bila metode hajer (memboikot) lebih berguna bila diterapkan kepadanya, maka metode inilah yang disyari’atkan.
Kesimpulannya: barang siapa yang menerapkan metode menarik simpati, terhadap orang yang selayaknya dihajer (diboikot), maka ia telah bertindak gegabah dan lalai. Dan barang siapa yang menerapkan metode hajer (boikot) terhadap orang yang selayaknya ditarik simpatinya, maka ia telah berlaku munaffir (menjadikan orang lain lari) dan ekstrim.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “(Syari’at) menghajer, berbeda-beda sejalan dengan perbedaan orang yang menerapkannya, dipandang dari kuat, tidaknya, dan sedikit, banyaknya jumlah mereka; karena tujuan dari (penerapan) hajer (boikot) adalah menghardik orang yang dihajer (diboikot), memberi pelajaran kepadanya, dan agar masyarakat umum meninggalkan kesalahan tersebut.
Sehingga apabila manfaat dan kemaslahatan yang dipetik dari sikap hajer (boikot) lebih besar (dibanding dengan kerugiannya), sehingga dengan ia diboikot, kejelekan menjadi melemah, dan sirna, maka pada saat itulah hajer (boikot) disyariatkan.
(5-2)
Akan tetapi bila orang yang diboikot, dan orang lainnya tidak menjadi jera, bahkan kejelekannya semakin bertambah, sedangkan pelaku hajer (boikot) kedudukannya lemah, sehingga kerugian yang ditimbulkan lebih besar dibanding maslahatnya, maka pada keadaan yang demikian ini, tidak disyariatkan hajer (boikot).
Bahkan menarik simpati sebagian orang itu lebih berguna dibanding memboikotnya, dan memboikot sebagian lainnya, lebih berguna dibanding menarik simpatinya. Oleh karena itu, dahulu Nabi e menarik simpati sebagian orang, dan memboikot sebagian lainnya…
Yang demikian ini, sebagaimana halnya menghadapi musuh, kadang kala disyariatkan peperangan, dan kadang kala perdamaian, dan kadang kala dengan cara mengambil jizyah (upeti), semua itu disesuaikan dengan situasi dan kemaslahatan.
Jawaban para imam, seperti imam Ahmad dan lainnya, tentang permasalahan ini, didasari oleh prinsip tersebut”. (Majmu’ Fatawa 28/206).
Beliau menjelaskan kesalahan orang yang menyama ratakan dalam menerapkan hajer (boikot) atau menarik simpati, tanpa memperhatikan prinsip tersebut diatas, dengan berkata: “Sesungguhnya sebagian orang menjadikan hal tersebut (hajer atau menarik simpati) sebagai suatu keumuman, sehingga mereka menghajer atau mengingkari orang yang tidak disyariatkan, tidak diwajibkan dan juga tidak disunnahkan. Dan mungkin saja dikarenakan kesalahan ini, menyebabkannya meninggalkan hal-hal yang diwajibkan atau disunnahkan, dan akibatnya ia melanggar hal-hal yang diharamkan.
Dan disisi lain ada sebagian orang yang berpaling dari itu semua, sehingga ia enggan untuk membaoikot (menjauhi) sesuatu yang diperintahkan untuk diboikot (dijauhi), yaitu berupa hal-hal buruk lagi bid’ah”. (Majmu’ Fatawa 28/213).
Nasehat keenam
(6-1)
Nasehat Keenam : Sepantasnya setiap orang yang hendak menerapkan masalah hajer (boikot) untuk memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam syari’at, yang telah digariskan oleh para ulama’ yang berkompeten dalam hal ini. Sehingga melalui ketentuan-ketentuan tersebut benar-benar terbedakan dengan jelas, antara pelaku kesalahan yang disyari’atkan (layak) untuk diboikot dari orang yang tidak layak. Ketentuan-ketentuan tersebut, diantaranya, ialah :
1. Yang berkaitan dengan pemboikot.
Yaitu hendaknya orang yang kuat, memiliki pengaruh, sehingga pemboikotan yang ia lakukan menimbulkan pengaruh, yang berupa teguran terhadap pelaku kesalahan. Adapun bila pemboikot adalah orang yang lemah, maka boikot yang ia lakukan tidak akan membuahkan hasilnya
Ketentuan ini berlaku bila tujuan pemboikotan adalah untuk memberikan pelajaran kepada pelaku kesalahan.
Adapun bila tujuannya ialah demi menjaga kemaslahatan pemboikot, yaitu karena ditakutkan akan timbul kerusakan dalam urusan agamanya, bila ia bergaul dengan pelaku kesalahan, maka ia dibenarkan untuk memboikot setiap orang yang akan mendatangkan kerugian baginya, bila ia bergaul atau duduk-duduk dengannya.
Yang demikian ini, dikarenakan hajer (boikot) disyariatkan demi mencapai kemaslahatan pemboikot, yaitu dengan cara memboikot setiap orang yang bila ia bergaul dengannya akan merusak agamanya, Sebagaimana disyariatkan demi mencapai kemaslahatan orang yang diboikot, yaitu dengan cara memboikot pelaku kesalahan, yang diharapkan akan mendapat pelajaran, bila diboikot.
Dan hajer (boikot) juga disyariatkan, demi mencapai kemaslahatan masyarakat banyak, yaitu dengan cara memboikot sebagian pelaku kesalahan, sehingga masyarakat, menjadi jera dan takut untuk melakukan perbuatan seperti perbuatan mereka. Dan banyak dalil yang menunjukkan setiap macam dari ketiga jenis pemboikotan ini.
(6-2)
2. Yang berkaitan dengan orang yang diboikot.
Yaitu apabila ia akan mendapatkan manfaat dengan terjadinya pemboikotan atas dirinya, sehingga ia terpengaruh dan kembali kepada kebenaran. Adapun bila tidak mendapatkan manfaat dengannya, bahkan kadang kala semakin bertambah jauh dan menentang, maka tidak disyariatkan untuk memboikotnya. Dan hal ini bisa saja kembalinya kepada tabi’at yang dimiliki oleh sebagian orang; kuat, keras, dan enggan untuk tunduk kepada orang lain, walau tabiat ini akan menjadikannya binasa. Nah orang semacam ini tidak akan mendapatkan pelajaran dari hukuman, dan boikot, akan tetapi kadang kala dapat dipengaruhi dengan cara menarik simpati, dan sikap ramah tamah.
Ada kalanya yang menyebabkan ia tidak mendapatkan manfaat dari pemboikotan adalah adanya kendala-kendala lain, misalnya, karena ia adalah seorang pemimpin, atau kaya raya, atau orang yang memiliki kedudukan sosial di masyarakat. Orang-orang semacam mereka, biasanya tidak akan berguna bila diboikot, karena mereka biasanya merasa tidak butuh terhadap orang yang memboikotnya. Oleh karena itu dahulu Nabi menarik simpati para pemimpin yang ditaati dikaumnya, begitu juga pemuka masyarakat, seperti halnya Abu Sufyan, ‘Uyainah bin Hishn, Al Aqra’ bin Habis, dan yang serupa dengan mereka.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Oleh karena itu, dahulu Nabi menarik perhatian sebagian orang, dan memboikot sebagaian lainnya, sebagaimana halnya tiga orang sahabat yang tidak ikut (dalam perang Tabuk), ketiga-tiganya lebih baik bila dibanding kebanyakan orang-orang yang ditarik perhatiannya. Hal ini dikarenakan mereka (orang-orang yang ditarik perhatiannya) adalah para pemimpin, lagi ditaati di kabilah masing-masing …”. (Majmu’ Fatawa 28/206).
(6-3)
3. Yang berkaitan dengan jenis pelanggaran.
Tidak ada jenis pelanggaran yang dapat dikatakan: bahwa pelakunya selalu diboikot, dalam situasi apapun, atau selalu tidak diboikot, dalam situasi apapun. Sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa setiap perbuatan bid’ah pasti diboikot, sedangkan perbuatan maksiat, tidak, atau bid’ah mukaffirah (yang menyebabkan pelakunya diklaim kafir) diboikot, sedang selainnya tidak, atau dosa-dosa besar diboikot, sedang dosa-dosa kecil tidak.
Yang benar adalah, disyariatkan memboikot setiap (pelaku) kesalahan, walaupun kecil, apabila ia adalah orang yang layak untuk dihajer (diboikot) dan ia akan mendapatkan manfaat dengannya. Dengan demikian yang menjadi inti permasalahan dalam hal ini ialah; apakah pelaku pelanggaran tersebut mendapatkan manfaat dari pemboikotan atau tidak, tanpa memperhatikan besar kecilnya pelanggaran. Sehingga mungkin saja seorang yang sholeh, pengagung As Sunnah, diboikot, hanya karena kesalahan kecil, sebagaimana halnya Nabi memboikot sebagian sahabatnya, karena sebagian pelanggaran kecil. Sebagai contoh, beliau memboikot ‘Ammar bin Yasir tatkala menggunakan minyak za’faran. (HR Abu Dawud dalam kitab As Sunnan 5/8), dan beliau tidak menjawab ucapan salam seorang sahabat yang memiliki kubah, hingga ia menghancurkannya. (HR Abu dawud, 5/402).
Dan kadang kala tidak disyariatkan memboikot sebagian pelaku pelanggaran besar, yang tingkat kesholehan pelakunya jauh dibawah orang-orang yang diboikot. Sebagai contoh Nabi menarik simpati Al Aqra’ bin Habis, ‘Uyainah bin Hishn, bahkan beliau menarik simpati sebagian orang munafiqin, semacam Abdullah bin Ubai, dan yang serupa dengannya. Semua ini sesuai dengan kemaslahatan dan mempertimbangkan ketentuan-ketentuan lain dalam masalah pemboikotan.
(6-4)
4. Yang berkaitan dengan waktu dan tempat terjadinya pelanggaran
Hendaknya dibedakan antara tempat dan waktu yang banyak terjadi pelanggaran dan kemungkaran, sehingga pelakunya memiliki kekuatan, dengan tempat dan waktu yang jarang terjadi pelanggaran, sehingga kekuatan pelakunya lemah.
Sehingga apabila kekuatan diwaktu dan tempat tersebut berada ditangan Ahli Sunnah, maka disyariatkan untukmenghajer (memboikot), tentunya dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan lainnya, disebabkan pelaku pelanggaran dalam keadaan lemah, sehingga ia akan menjadi jera dengan pemboikotan tersebut. Sebagaimana firmankan tentang kisah sahabat Ka’ab bin Malik dan kedua kawannya:
] حتى إذا ضاقت عليهم الأرض بما رحبت وضاقت عليهم أنفسهم وظنوا أن لا ملجأ من الله إلا إليه … [ سورة التوبة 118.
Artinya: “hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. (QS At Taubah 118).
Sebagaimana teguran dan pendidikan, berhasil dicapai melalui pemboikotan sahabat Umar bin Khotthab beserta seluruh ummat, terhadap Shobigh bin ‘Asal, sebagaimana telah diketahui bersama.
Adapun apabila kekuatan pada suatu waktu dan tempat berada ditangan orang-orang jahat, dan penjaja kebatilan, maka tidak disyari’atkan pemboikotan; -kecuali pada momen-momen tertentu- karena pemboikotan pada saat seperti ini tidak akan dapat merealisasikan tujuannya, berupa pendidikan, dan teguran, bahkan dimungkinkan orang-orang yang berpegang teguh dengan kebenaran akan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan.
(Tambahan 6-4).
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Oleh karena itu hendaknya dibedakan antara tempat-tempat yang banyak terjadi praktek-praktek bid’ah, sebagaimana halnya yang terjadi di kota Bashrah banyak orang-orang yang mengingkari taqdir (Qodariyah), di kota Khurasan banyak ahli nujum, dan di kota Kufah banyak orang-orang Syi’ah, dengan tempat-tempat yang tidak demikian halnya. Dan hendaknya dibedakan antara para pemimpin yang memiliki pengikut, dengan lainnya. Dan apabila telah diketahui tujuan syari’at, maka hendaknya ditempuh jalan tercepat untuk mencapai tujuan tersebut”. (Majmu’ Fatawa 28/206-207).
Kembali pada nasehat syeikh Ibrohim Ruhaili (6-5).
5. Yang berkaitan dengan masa pemboikotan.
Hendaknya masa pemboikotan disesuaikan dengan keadaan pelaku pelanggaran dan jenis pelanggaran, karena ada orang-orang yang sudah jera bila diboikot selama satu hari, dua hari , satu bulan atau dua bulan, dan ada orang-orang yang butuh waktu lebih lama. Dan apabila tujuan pemboikotan telah tercapai, maka harus dihentikan, karena kalu tidak, yang terjadi adalah rasa putus asa dan putus harapan. Sebaliknya, bila masa pemboikotan kurang dari yang selazimnya, maka tidak akan ada gunanya.
Tatkala Ibnu Qayyim menyebutkan faedah-faedah yang dapat disimpulkan dari kisah pemboikotan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . terhadap sahabat ka’ab bin Malik dan kedua kawannya, beliau berkata: “ Dalam kisah ini terdapat dalil bahwa pemboikotan seorang pemimpin, atau ulama’ atau pemuka masyarakat, terhadap orang yang melakukan suatu pelanggaran yang mengharuskan untuk dicela (diboikot). Hendaknya pemboikotan tersebut merupakan obat, yaitu dengan cara yang dapat merealisasikan perbaikan (penyembuhan), dan tidak berlebih, baik dalam jumlah atau metode, sehingga dapat membinasakan orang tersebut, karena tujuannya (pemboikotan) adalah untuk memberikan pendidikan, bukan membinasakan”. (Zad Al Ma’ad 3/20).
Nasehat ketujuh
(7-1)
Nasehat Ketujuh : Mengingkari pelaku pelanggaran, dan membantahnya, dalam rangka menunaikan kewajiban menasehati orang tersebut, dan menjaga masyarakat dari kesalahannya, adalah salah satu prinsip baku Ahlis Sunnah, bahkan hal ini termasuk macam jihad paling mulia. Akan tetapi, harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam syari’at, dan syarat-syarat yang telah ditetapkan, sehingga dengan cara ini, dapat dicapai tujuan syari’at dari pngingkaran dan bantahan tersebut. Diantara ketentuan dan syarat tersebut, ialah:
1. Hendaknya pengingkaran tersebut dilakukan dengan penuh rasa ikhlas, niat yang jujur lagi murni hanya karena ingin memperjuangkan kebenaran. Diantara konsekwensi keikhlasan dalam hal ini, ialah: Ia senang bila pelaku pelanggaran mendapatkan petunjuk, dan kembali kepada kebenaran, dan ia menempuh segala usaha yang dapat ia lakukan, agar hati pelaku pelanggaran tersebut dapat terbuka, bukan malah menjadikannya semakin jauh. Dan hendaknya ia berdoa secara khusus untuk orang tersebut, agar Allah memberi petunjuk kepadanya, apabila ia dari kalangan Ahli Sunnah, atau selain mereka. Sungguh Nabi dahulu mendoakan sebagian orang kafir, agar mendapat petunjuk, maka bagaimana halnya bila ia dari kalangan kaum muslimin yang bertauhid (tentu lebih pantas untuk didoakan).
(7-2)
2. Hendaknya bantahan terhadap orang tersebut dilakukan oleh seorang ulama’ yang benar-benar telah mendalam ilmunya, sehingga ia menguasai dengan detail, segala sudut pandang dalam permasalahan tersebut, yaitu, yang berkaitan dengan dalil-dalil syari’at, keterangan para ulama’ dalam masalah tersebut, dan sejauh mana tingkat penyelewengan pelanggar tersebut. Dan juga sumber munculnya syubhat pada orang itu, dan keterangan para ulama’ seputar cara mematahkan syubhat tersebut, serta mengambil pelajaran dari keterangan mereka dalam hal ini.
Hhendaknya orang yang membantah memiliki kriteria: dapat mengemukakan dalil-dalil yang kuat ketika mengemukakan kebenaran, dan mematahkan syubhat, ungkapan-ungkapan yang detail, agar tidak nampak, atau dipahami dari perkataannya suatu kesimpulan yang tidak sesuai dengan yang ia inginkan. Karena bila orang yang membantah tidak memiliki kriteria ini, niscaya yang terjadi adalah kerusakan besar.
(7-3)
3.Hendaknya tatkala membantah, diperhatikan perbedaan tingkat pelanggaran, kedudukan baik dari segi agama ataupun sosial yang ada pada orang-orang tersebut. Begitu juga motivasi pelanggaran, apakah karena kebodohan, atau hawa nafsu dan keinginan untuk berbuat bid’ah, atau ungkapannya yang kurang baik, atau salah mengucap, atau terpengaruh oleh seorang guru atau lingkungan masyarakatnya, atau karena memiliki takwil, atau tujuan-tujuan lain yang ada pada pelanggaran terhadap syari’at.
Barang siapa membantah pelaku pelanggaran, dengan tidak memperdulikan dan tidak memperhatikan terhadap perbedaan-perbedaan ini, niscaya ia akan terjerumus kedalam tindak ekstrim (berlebih-lebihan) atau sebaliknya (kelalaian), yang akan menjadikan perkataannya tidak atau kurang berguna.
(7-4)
4. Hendaknya tatkala membantah, senantiasa berusaha mewujudkan maslahat (tujuan) syari’at dari tindakan tersebut. Sehingga apabila tindakannya tersebut justru mendatangkan kerusakan yang lebih besar dibanding dengan kesalahan yang hendak dibantah, maka tidak disyari’atkan untuk membantah. Karena suatu kerusakan tidak dibenarkan untuk ditolak dengan kerusakan lebih besar.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak dibenarkan menolak kerusakan kecil dengan kerusakan besar, juga tidak dibenarkan mencegah kerugian ringan dengan melakukan kerugian yang lebih besar. Karena syari’at Islam (senantiasa) mengajarkan agar senantiasa merealisasikan kemaslahatan, dan menyempurnakannya, juga melenyapkan kerusakan dan menguranginya, sedapat mungkin. Singkat kata; bila tidak mungkin untuk disatukan antara dua kebaikan, maka syari’at islam (mengajarkan untuk) memilih yang terbaik. Begitu juga halnya dengan dua kejelekan, bila tidak dapat dihindarkan secara bersamaan, maka kejelekan terbesarlah yang dihindarkan”. (Al Masail Al Mardiniyyah 63-64).
(7-5)
5. Hendaknya bantahan, disesuaikan dengan tingkat tersebarnya kesalahan tersebut. Sehingga apabila suatu kesalahan hanya muncul di suatu negri, atau masyarakat, maka tidak layak bantahannya disebar luaskan ke negri atau masyarakat yang belum mendengar kesalahan tersebut, baik melalui penerbitan kitab, atau kaset, atau sarana-sarana lainnya. Karena menyebar luas bantahan, berarti secara tidak langsung menyebar luaskan pula kesalahan tersebut. Sehingga bisa saja ada orang yang membaca atau mendengarkan bantahan, akan tetapi syubhat-syubhat (kesalahan itu) masih membayangi hati dan pikirannya, dan tidak merasa puas dengan bantahan itu.
Sehingga menghindarkan masyarakat dari mendengarkan kebatilan dan kesalahan, lebih baik daripada mereka mendengarkannya, dan membantahnya kemudian. Sungguh ulama’ terdahulu, senantiasa mempertimbangkan hal ini dalam setiap bantahan mereka. Banyak sekali kita dapatkan kitab-kitab mereka yang berisikan bantahan, mereka hanya menyebutkan dalil-dalil yang menjelaskan kebenaran, yang merupakan kebalikan dari kesalahan tersebut, tanpa menyebutkan kesalahan itu. Tentu ini membuktikan akan tingkat pemahaman mereka, yang belum dicapai oleh sebagian orang zaman sekarang.
Pembahasan yang telah diutarakan, berkaitan dengan menebarkan bantahan di negri yang belum dijangkiti kesalahan, sama halnya pembahasan tentang menebarkan bantahan di tengah-tengah sekelompok orang yang tidak mengetahui kesalahan itu, walaupun ia tinggal di negri yang sama. Sehingga tidak seyogyanya menebarkan bantahan, baik melalui buku atau kaset, ditengah-tengah masyarakat yang tidak mengetahui atau mendengar adanya kesalahan itu.
Betapa banyak orang awam yang terfitnah, dan terjatuh ke kubang keraguan tentang dasar-dasar agama, akibat mereka membaca buku-buku bantahan yang tidak dapat dipahami oleh akal pikiran mereka.
(7-5 tambahan)
Maka hendaknya orang-orang yang menebarkan buku-buku bantahan ini, takut kepada Allah, dan berhati-hati, agar tidak menjadi penyebab terfitnahnya masyarakat, dalam urusan agama mereka.
Dan diantara yang paling mengherankan saya ialah; sebagian pelajar, membagi-bagikan sebagian buku bantahan, kepada sebagian orang yang baru masuk islam, orang-orang yang keislamannya baru berjalan beberapa hari atau bulan, kemudian mereka mengarahkannya agar membaca buku tersebut. Alangkah mengherankan sekali tindakan
Maka hendaknya orang-orang yang menebarkan buku-buku bantahan ini, takut kepada Allah, dan berhati-hati, agar tidak menjadi penyebab terfitnahnya masyarakat, dalam urusan agama mereka.
Dan diantara yang paling mengherankan saya ialah; sebagian pelajar, membagi-bagikan sebagian buku bantahan, kepada sebagian orang yang baru masuk islam, orang-orang yang keislamannya baru berjalan beberapa hari atau bulan, kemudian mereka mengarahkannya agar membaca buku tersebut. Alangkah mengherankan sekali tindakan mereka.
(7-6)
6. Hukum membantah pelaku kesalahan, ialah fardhu kifayah, sehingga bila telah ada seorang ulama’ yang melaksanakannya, dan dengan bantahan dan peringatan yang ia lakukan, telah terealisasi tujuan syari’at, maka tanggung jawab (kewajiban) para ulama’ telah gugur. Hal ini sebagaimana telah ditetapkan oleh para ulama’ dalam permasalahan hukum fardhu kifayah.
Adalah termasuk kesalahan, tatkala ada seorang ulama’ membantah seorang pelaku kesalahan, atau fatwa yang memperingatkan dari kesalahan seseorang, banyak pelajar menuntut ulama’ lainnya, juga para pelajar lainnya agar menyatakan sikap mereka terhadap ulama’ pembantah tersebut dan pelaku kesalahan yang dibantah, atau fatwa itu. Bahkan tidak jarang para pelajar pemula, bahkan juga masyarakat awam, untuk menyatakan sikapnya terhadap ulama’ pembantah dan pelaku kesalahan tersebut.
Terlebih dari itu semua, mereka kemudian menjadikan permasalahan ini sebagai asas wala’ dan bara’ (loyalitas dan permusuhan), dan akhirnya yang terjadi saling menghajer (memboikot) hanya karena perkara ini.
Bahkan kadang kala sebagian pelajar memboikot sebagian gurunya (syeikhnya), yang selama bertahun-tahun ia menimba ilmu darinya, hanya dikarenakan permasalahan ini pula. Dan kadang kala pula, fitnah ini menyusup kedalam keluarga, sehingga engkau dapatkan seseorang memboikot saudaranya, seorang anak bersikap tidak sopan terhadap orang tuanya, bahkan kadang kala, seorang istri diceraikan dan anak-anak menjadi terpisah-pisah, hanya karena permasalahan ini.
Dan bila engkau melihat fenomena yang menimpa masyarakat, niscaya engkau akan mendapatkan mereka terpecah menjadi dua kelompok atau bahkan lebih. Setiap kelompok membidikkan berbagai tuduhan, dan akhirnya saling memboikot. Semua ini terjadi dikalangan orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada As Sunnah (Ahlis Sunnah), yang sebelumnya setiap kelompok tidak dapat mencela akidah dan manhaj kelompok lain, sebelum terjadinya perbedaan ini.
Lanjut......
(7-6 tambahan).
Fenomena ini kembalinya kepada kebodohan yang sangat tentang As Sunnah (Manhaj Ahlis Sunnah), kaidah-kaidah mengingkari (kemungkaran) menurut Ahlis Sunnah, atau kepada hawa nafsu (yang diturutkan), kita memohon kepada Allah perlindungan dan keselamatan.
Nasehat ke-8 menyusul....insya Allah
-------------------
(8-1).
Nasehat Kedelapan : Ulama’ Ahlis Sunnah yang telah terkenal akan keselamatan akidah dan jasanya dalam memperhuangkan As Sunnah (Manhaj Ahlis Sunnah), hendaknya senantiasa dijaga kehormatannya, diperhatikan kedudukannya, tidak sepatutnya dicela, atau diklaim sebagai pelaku bid’ah, atau dituduh mengikuti hawa nafsu, atau fanatis, hanya karena memiliki kesalahan dalam berijtihad.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak diragukan lagi, bahwa kesalahan seseorang dalam permasalahan yang detail, akan diampuni, walaupun kesalahan tersebut tergolong dalam permasalahan-permasalahan ilmiyyah (akidah). Kalau kita tidak bersikap demikian, niscaya kebanyakan ulama’ akan binasa (tidak dihargai jasanya). Apabila Allah mengampuni orang yang tidak mengetahui bahwa khomer adalah haram, dikarenakan ia hidup disuatu masyarakat bodoh, padahal ia tidak pernah menuntut ilmu, maka seorang ulama’ yang bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, sesuai dengan yang ia peroleh dimasa dan tempat ia berada, apabila ia benar-benar bertujuan mengikuti (ajaran) Rasulullah sedapat mungkin, tentua ia lebih berhak untuk diterima Allah kebaikannya dan mendapatkan pahala atas usaha dan jasanya, dan diampunkan kesalahannya. hal ini sebagai realisasi dari firman-Nya:
] ربنا لا تؤاخذنا إن نسينا أو أخطأنا[. البقرة الآية 286
“Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau menyiksa kami, jika kami lupa atau bersalah”. (Majmu’ fatawa 20/165).
(8-2)
Pada kesempatan lain beliau juga berkata: “Ini adalah keyakinan ulama’ salaf (terdahulu), dan para imam ahli fatwa, seperti Abu Hanifah, As Syafi’i, Ats Tsaury, Dawud bin Ali, dan lainnya. Mereka tidak menganggap berdosa orang yang salah dalam berijtihad, baik dalam permasalahan-permasalahan prinsip (ushul), atau cabang (furu’). Hal ini sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Hazem dan lainnya, dan mereka berkata: inilah pendapat yang dikenal dari kalangan para sahabat, pengikut mereka dalam kebaikan (tabi’in), dan para imam agama. mereka tidaklah mengkafirkan, juga tidak menfasikkan, juga tidak menganggap berdosa, seorang ahli ijtihad yang salah (dalam berijtihad), tidak dalam permasalahan amaliyah, juga tidak dalam masalah ilmiyah (akidah). Mereka beralasan, bahwa membedakan antara permasalahan-permasalahan furu’ (cabang) dengan permasalahan-permasalahan ushul (prinsip) hanyalah pendapat ahlil bid’ah, dari kalangan orang-orang penganut ilmu kalam (filsafat), mu’tazilah, jahmiyyah, dan pengikut mereka”. (Majmu’ fatawa 19/207).
Kita menegaskan hal ini, bukan berarti kita tinggal diam, tidak menasehati ulama’ tersebut bila ia melakukan kesalahan, bahkan menasehatinya adalah sebuah kewajiban setiap orang yang mengetahui kesalahannya, dan sikap ini termasuk bakti dan perilaku baik kepadanya. Akan tetapi sudah barang tentu nasehat harus dilakukan dengan cara ramah, lembut, metode yang sesuai dengan kedudukannya dalam keilmuan dan perjuangannya.
Kemudian bila ia bertaubat, meninggalkan kesalahannya, dan meralat kesalahannya, maka ia diterima, dan tidak dibenarkan lagi untuk membicarakannya, tidak juga mencelanya karena kesalahan tersebut, juga tidak dibenarkan kita meragukan kesungguhannya dalam bertaubat.
(8-3).
Namun bila ia tidak bertaubat, dikarenakan masih memiliki alasan tertentu, atau syubhat yang menghalanginya untuk mengetahui kebenaran, maka hendaknya dilihat; apabila kesalahan tersebut hanya terbatas pada dirinya sendiri, maka tanggung jawab kita telah selesai dengan menasehatinya, akan tetapi jika kesalahan tersebut telah menyebar, maka hendaknya masyarakat diperingatkan dari kesalahan itu, dengan tetap menjaga kehormatan ulama’ tersebut.
Sepantasnya pada kesempatan ini, kita senantiasa mengingat kewajiban menjaga dua prinsip besar: Pertama: Kewajiban bersikap tulus demi kebenaran, Kedua: Kewajiban menjaga kehormatan ulama’.
Kedua prinsip ini menurut Ahlis Sunnah tidaklah saling bertentangan, dan tidak dibenarkan untuk membesar-besarkan salah satunya, walau harus dengan mengabaikan yang lainnya.
Cinta kepada ulama’ dan menjaga kedudukan mereka, tidak berarti tinggal diam melihat kesalahan mereka dan tidak memperingatkannya. Bersikap tulus demi kebenaran, dan mengingatkan kesalahan seorang ulama’, tidak berarti mencela dan memakinya, akan tetapi kedua prinsip ini dapat digabungkan oleh setiap orang yang mendapatkan bimbingan dari Allah.
Barang siapa yang mengetahui metode ulama’ dalam mengingatkan kesalahan sebagian mereka, tanpa disertai celaan, niscaya ia akan mengetahui hakikat permasalahan ini, dan bukti-bukti nyata perkataan ini banyak sekali didapatkan dalam perkataan ulama’.
Ke-9 nyusul.
-----------------------
(9-1)
Nasehat Kesembilan: Ahlul Bid’ah yang menyelisihi Akidah Ahlis Sunnah, dan manhaj (metode) mereka dalam berdalil, mengajar, mendidik, dan berdakwah ke jalan Allah, serta mengikuti hawa nafsu. Mereka juga tidak menjadikan ulama’ Ahlis Sunnah sebagai suri tauladan, bahkan sebaliknya, malah mencela, dan mencemooh mereka, bahkan menganggap diri mereka lebih utama dibanding para ulama’ Ahlis Sunnah. Mereka ialah mubtadi’ah (ahli bid’ah) lagi sesat, sepantasnya untuk diperangi dengan cara menjelaskan kepada seluruh masyarakat, keburukan jalan mereka, penyelewengan mereka dari As Sunnah. Juga dengan membantah mereka, dan memperlakukan mereka dalam segala kondisi dengan perlakuan terhadap Ahlul Bid’ah.
Akan tetapi, hal ini tidak menghalangi kita untuk mendakwahi mereka kepada kebenaran, dan bila dianggap akan menyebabkan mereka kembali kepada As Sunnah, maka diadakan diskusi antara ulama’ dengan mereka, yaitu diskusi dengan cara-cara yang baik.
Hendaknya kita selalu waspada, agar tidak mencampur-adukkan antara sikap yang seharusnya diambil dalam menghadapi Ulama’ Ahlis Sunnah, -walau mereka memiliki kesalahan- yaitu kewajiban menjaga kedudukan dan kehormatan mereka, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, dengan sikap yang seharusnya diambil dalam menghadapi ulama’ Ahlil Bid’ah, yang seyigyanya diboikot, dan diperingatkan dari mereka agar dijauhi. Yang demikian ini, dikarenakan kesalahan ulama’ Ahlis Sunnah, merupakan hasil dari usaha mereka dalam mencapai kebenaran, dengan menempuh metode-metode yang dibenarkan dalam berdalil. Sedangkan kesalahan ulama’ Ahlil Bid’ah, ialah hasil dari hawa nafsu, penyelewengan, dan tidak menempuh metode-metode yang dibenarkan dalam berdalil, sehingga sangat jauhlah perbedaan antara keduanya.
(9-2).
Permasalahan ini, merupakan titik perbedaan antara Ahlis Sunnah dan Ahlil Bid’ah. Dan dengan ini pula seorang yag cerdas dan jeli dapat memahami, sebab kenapa para ulama’ Ahlis Sunnah yang memiliki kesamaan pendapat dengan sebagian Ahlil bid’ah dalam beberapa keyakinan mereka, tidak diklaim sebagai ahlil bid’ah.
----------------------------
Nasehat penutup.(10-1).
Nasehat Kesepuluh : Saya menutup nasehat ini dengan menyebutkan beberapa anjuran ringan dan faedah-faedah berharga, yang saya rasa bila diamalkan, akan mendatangkan pahala besar dan kedudukan tinggi disisi Allah. Saya menyeru saudara-saudaraku untuk mengamalkannya, dan senantiasa memperhatikannya, terlebih-lebih pada masa ini, masa yang banyak tersebar fitnah, hawa nafsu diumbar, kebodohan merajalela, kecuali orang-orang yang mendapatkan rahmat dan petunjuk Allah.
1. Wahai pengikut Sunnah (ahlussunnah), ketahuilah: jika anda benar-benar pengikut Sunnah (ahlussunnah), sekali-kali tidak akan merugikanmu, tipu daya yang ditujukan kepadamu oleh seluruh penghuni langit dan bumi, dan anda tidak akan dapat terusir dari (jalan) As Sunnah, hanya karena tuduhan mereka kepada anda, sebagai pelaku bid’ah. Sebaliknya, jika anda adalah pelaku kesesatan dan peyelewengan –dan saya memohonkan perlindungan kepada Allah untuk anda, agar anda tidak menjadi demikian- niscaya tidak berguna bagimu disisi Allah, pujian seluruh manusia, dan penisbatan mereka bahwa anda adalah pengikut Sunnah, serta sanjungan mereka kepada anda dengan berbagai julukan palsu, -bila realitanya Allah telah mengetahui tentang hakikat diri anda sebagaimana yang anda ketahui sendiri- oleh karena itu hendaknya anda tidak berdusta pada diri sendiri. Hendaknya cukup sebagai peringatan bagimu pada situasi seperti ini, wasiat Nabi kepada Ibnu Abbas, dan hadits tiga orang yang akan pertama kali dimasukkan kedalam api neraka, semoga Allah melindungi saya dan anda darinya.
Sambung.....
(10-2) lanjutan nasehat penutup.
2. Ketahuilah bahwasannya ulama’ Ahlis Sunnah yang mendalam (kokoh) ilmunya, dapat mencapai kedudukan tinggi dan menjadi pemimpin (imam) dalam keagamaan –selain karena taufiq (bimbingan) Allah kepada mereka- dikarenakan kesabaran dan keyakinan mereka. Allah Ta’ala berfirman:
] وجعلنا منهم أئمة يهدون بأمرنا لما صبروا وكانوا بآياتنا يوقنون[
“Dan Kami jadikan dari mereka imam-imam (para pemimpin), yang memberi petunjuk dengan urusan Kami, tatkala mereka bersabar, dan mereka yakin dengan ayat-ayat Kami “.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dengan kesabaran dan keyakinan, kepemimpinan dalam urusan agama akan dicapai”.
Dan yang dimaksud dari keyakinan ialah; kekuatan dalam ilmu, yang dilandasi oleh dalil yang benar, pemahaman lurus. Bukan (sebagai keyakinan) apa yang dianut oleh sebagian pelajar, berupa sikap pasrah dalam berilmu dengan taklid kepada seorang ulama’, atau pelajar lain, atau dakwaan bahwa kebenaran akan selalu bersama ulama’ tersebut, dan tidak ada yang memahami As Sunnah dengan baik, kecuali dia.
Dan yang dimaksud dari kesabaran ialah; kegigihan dan keuletan dalam menuntut ilmu, dengan disertai pengamalan, dan mengisi seluruh waktunya, siang dan malam dengan hal tersebut. Berbeda halnya dengan orang-orang yang lemah semangat, dan lebih senang dengan santai, pasrah kepada gejolak hawa nafsu, sehingga ia tidak memiliki semangat untuk belajar, juga tidak untuk beramal.
(10-3)...
3.Ketahuilah bahwasannya mengklaim orang lain dengan kafir, mubtadi’, dan fasik, merupakan hak Allah, oleh karenanya jangan sekali-kali anda mengkalaim dengan kafir, atau mubtadi’ atau fasik orang yang tidak layak diklaim demikian, walaupun ia telah mengklaim anda dengan kafir, atau mubtadi’ atau fasik. Karena sesungguhnya Ahlis Sunnah tidak membenarkan untuk membalas kezaliman pelaku kesalahan dengan kezaliman. Akan tetapi metode membalas kezaliman dengan kezaliman, merupakan perangai Ahlil Bid’ah.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Orang-orang Khowarij selalu mengkafirkan Ahlis Sunnah wal Jama’ah, demikian juga Mu’tazilah, mereka mengkafirkan setiap orang yang bertentangan dengannya, demikian pula halnya Rafidhoh (Syi’ah). Kalaupun mereka tidak mengkafirkan, tapi mereka mengklaim dengan fasik …..Sedangkan Ahlis Sunnah, senantiasa mengikuti kebenaran yang datang dari Tuhan mereka, kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah e. Dan mereka tidaklah mengkafirkan orang yang menyelisihi mereka dalam kebenaran itu. Akan tetapi mereka adalah orang yang paling tahu tentang kebenaran, dan paling sayang terhadap manusia”. (Minhajus Sunnah 5/158).
(10-4).
4. Janganlah sekali-kali anda memboikot saudaramu yang telah memboikotmu, bila pemboikotan terhadapnya tidak dibenarkan secara syari’at. Akan tetapi hendaknya anda selalu memulai mengucapkan salam kepadanya, berusaha menarik simpatinya. Berusahalah untuk menghapuskan syubhat yang menyebabkannya memboikot anda. Bila ia tetap berpaling darimu, maka janganlah anda berkeyakinan dalam hati anda bahwa anda dibenarkan untuk memboikotnya. Dan janganlah anda menyibukkan diri anda dengan terus berusaha mendekatinya, karena anda telah terbebas dari dosa memutus hubungan, sedangkan dia akan bertanggung jawab atas tindakannya itu.
(10-5)
5. Celaan orang lain terhadap anda, bisa saja dengan cara menjelek-jelekkan pribadi anda, dan bisa dengan cara menisbatkan -dengan dusta- kepada anda suatu perkataan yang bertentangan dengan keyakinan Ahlis Sunnah. Maka apabila yang mereka lakukan adalah menjelek-jelekkan pribadi anda, misalnya dengan mengatakan: Ia orang sesat, bodoh, tidak paham, maka janganlah sekali-kali anda membela diri. Karena bila anda membela diri, niscaya anda akan terjerumus kedalam tazkiatun nafsi (memuji diri sendiri), dan sikap seperti ini merupakan kebinasaan yang nyata.
Ada seseorang yang menjelek-jelekkan seorang Imam dengan suatu ucapan, maka Imam itu hanya menjawab: “(Tuduhan) Anda tidak terlalu jauh”. Dahulu Ahlil Bid’ah senantiasa mensifati pribadi ulama’ Ahlis Sunnah dengan berbagai kedustaan, akan tetapi mereka tidak pernah memperdulikannya, Yang mereka lakukan hanyalah membantah kesalahan mereka dalam urusan agama, dan menasehati masyarakat umum. Oleh karena itu hendaknya kita menjadikan mereka suri tauladan dalam hal ini.
Adapun bila ia menisbatkan suatu perkataan sesat, misalnya dengan mengatakan: Si fulan berkata demikian, demikian, dan menisbatkan kepadamu suatu perkataan yang tidak pernah anda ucapkan, maka anda cukup membantah penisbatan tersebut, agar pada kemudian hari tidak ada yang menisbatkan perkataan tersebut kepada anda. Dan para ulama’ senantiasa menjelaskan kepada masyarakat tentang perkataan-perkataan yang tidak pernah mereka ucapkan, yang dinisbatkan kepada mereka. Dan sikap ini sama sekali bukan termasuk kedalam sikap memuji diri sendiri, bahkan merupakan nasehat kepada masyarakat.
Sehingga sangat jelas perbedaan antara contoh ini dengan contoh sebelumnya. Oleh karena itu hendaknya anda berpegang teguh dengan ajaran ulama’ salaf dalam hal semacam ini. Dan janganlah anda menyerupai sebagian orang bodoh, yang bila dituduh dengan suatu tuduhan, ia langsung menebarkan keseluruh penjuru dunia, berbagai pujian, dan sanjungan terhadap dirinya.
(10-6) terakhir.
6. Ketahuilah bahwa setiap manusia akan menjadi semakin besar (kedudukannya) dalam bidang amalannya masing-masing, sehingga jika anda berpegang teguh dengan As Sunnah, niscaya kedudukan anda semakin hari, akan semakin besar, dan tidak akan lama lagi, anda akan menjadi pemimpin dalam (pengamalan) As Sunnah, Allah Ta’ala berfirman:
] وجعلنا منهم أئمة يهدون بأمرنا لما صبروا وكانوا بآياتنا يوقنون[ السجدة 24
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar.Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (Qs As Sajdah 24).
Dan sebaliknya, jika anda mengamalkan bid’ah, niscaya kedudukan anda semakin hari akan semakin besar, dan tidak akan lama lagi, anda akan menjadi pemimpin dalam (pengamalan) bid’ah. Allah Ta’ala berfirman :
] قل من كان في الضلالة فليمدد له الرحمن مدا[ مريم 75
“Katakanlah:"Barangsiapa yang berada di dalam kesesatan, maka biarlah Rabbnya yang Maha Pemurah memperpanjang tempo baginya”. (QS maryam 75).
Dan setelah Allah mensifati Fir’aun beserta kaumnya dengan kesombongan, Dia berfirman:
] وجعلناهم أئمة يدعون إلى النار[ القصص 42
“Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka”. (QS Al Qhashash 41).
Maka silahkan anda memilih untuk diri anda, suatu amalan yang esok anda senang bila menjadi pemimpin dalamnya.
Inilah dan hanya Allah Ta’ala-lah yang lebih tahu, dan semoga Allah senantiasa melimpahkan sholawat, salam dan keberkahan atas hamba dan rasul-Nya Muhammad …
DR. Ibrohim bin Amir ar-Ruhaili
Ulama pengajar Aqidah di Masjid Nabawi Madinah.
Semoga nasehat2 beliau bermanfaat bagi kita semua.
(KHolid Syamhudi).
Subscribe to:
Posts (Atom)